BURSA Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) mulai marak. Diperkirakan, ada sembilan tokoh berniat maju pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, 25-31 Januari 2010. Diantaranya, tiga tokoh NU yaitu KH Masdar Farid Mas’udi, KH Salahuddin Wahid, dan KH Said Aqil Siradj. Mereka disebut-sebut calon kuat memimpin kaum nahdliyin itu. Yang menarik, di barisan kaum muda, muncul nama Ulil Abshar Abdalla.
Ulil tampaknya harus menempuh persaingan keras. Meskipun besar di lingkungan Nahdlatul Ulama yang ketat tradisi, dia termasuk pemikir kontroversial. Dia getol menganjurkan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Gus Dur bahkan menyebut jalan ditempuh Ulil itu mirip Ibnu Rusyd, sang penganjur rasionalisme dalam Islam. “Saya dikritik dan dicurigai,” ujar Ulil.
Pendidikannya lumayan berwarna. Dia lulus sarjana dari LPIA (Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, yang menurutnya sangat "Timur Tengah" itu. Dia juga masuk ke tradisi lain: belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Kini, bekas ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdlatul Ulama itu, sedang menempuh program PhD untuk studi perbandingan agama di Universitas Boston, Amerika Serikat.
Berikut ini wawancara Ulil Abshar dengan wartawan dari vivanews :
Tantangan apa yang Anda hadapi dalam pencalonan?
Tantangan utama saya adalah meyakinkan para kiai, terutama bahwa saya adalah kandidat yang pantas. Selama ini saya dikritik, dicurigai liberal, mungkin Islami, cuma mungkin (dianggap) beda dengan ideologi dianut NU. Jadi saya harus menjelaskan pada level itu dulu.
Lalu, kalau saya tembus itu, saya yakin bisa bekerja lebih jauh lagi. Kalau tantangan yang lain-lain adalah meyakinkan cabang-cabang dan seterusnya. Jadi setelah meyakinkan kiai-kiai, saya masuk ke cabang-cabang.
Kiai-kiai yang sudah memberi sinyal dukungan?
Saya tak berani mengklaim, tapi ada sejumlah kiai mungkin akan memberikan dukungan kepada saya. Kalau disebut nanti tak enak, dibilang saya mengklaim. Yang pasti ada beberapa kiai karena saya masih berada di tahap awal.
Gus Dur?
Gus Dur saya belum bertemu dan berbicara langsung mengenai masalah ini karena beliau lagi sakit. Tapi saya sudah bertemu dengan sejumlah kiai. Dengan calon lain saya juga sudah komunikasikan. Mereka senang. Saya kira untuk ikon anak muda, hanya saya yang tampil. Saya kira itu pas dengan momentum sekarang ini, orang bicara mengenai yang muda yang memimpin.
Berapa kira-kira usia para calon ketua itu?
Masdar itu 50-an, Said Agil 50-an, saya 42. Saya kira itu paslah. Paling tua Slamet Effendi Yusuf, kemudian Masdar, lalu Said Agil. Ketiganya dulu sekolah di Yogya.
Kalau latar pendidikan?
Dari segi latar pendidikan menarik. Pak Said Agil dari latar pesantren kemudian ke IAIN sebentar, terus ke Saudi Arabia mendapatkan doktor di sana di bidang tasawuf. Masdar di Pesantren Krapyak sambil kuliah di Yogya. Mas Slamet mungkin kurang kelihatan latar pesantrennya. Dari IAIN Yogya terjun ke politik. Saya sendiri memiliki latar belakang paling menarik dibanding tiga calon lain. Saya dari pesantren, kemudian kuliah di perguruan tinggi yang berafiliasi ke perguruan tinggi di Saudi Arabia. Seluruhnya memakai sistem Arab artinya sistem Timur Tengah, dan sekarang saya di Barat. Artinya saya mengkombinasikan ketiga tradisi pendidikan. Saya kuasai tradisi pesantren, tradisi Timur Tengah, dan tradisi barat.
Ingin menjadi Ketua PBNU memang direncanakan sejak awal?
Sebetulnya niat saya menjadi Ketua Umum PBNU itu sudah lama. Bahwa itu terjadi sekarang, tidak saya sangka. Sebetulnya saya pulang untuk cuti kuliah, dan kemudian ingin istirahat sebentar. Namun saya lihat perkembangan NU kok kurang bagus ya. Citranya merosot karena manuver-manuver politik. Dan sekarang ada wacana anak muda dituntut untuk tampil. Saya merasa mengapa tidak. Artinya, sekarang ini momentum paling tepat membawa ide pembaharuan saat NU mengalami decline, butuh ide-ide yang segar. Saya kira sekarang ini saatnya.
Manuver kurang bagus. Maksudnya?
Langkah politik Kiai Hasyim kan dipandang warga NU kurang menguntungkan. Terakhir, misalnya langkah beliau mendukung Jusuf Kalla dan tidak terpilih. Itu menggerakkan seluruh mesin organisasi tapi ternyata tidak efektif. Kemudian di luar muncul sinisme bahwa NU ini sebagai mesin politik tidak jalan lagi. Macan ompong.
Ada gap antara kiai-kiai dengan masyarakat dalam masalah politik. Selama ini orang mengandaikan bahwa kiai ini figur masyarakat, panutan, ternyata tidak. Perubahan semacam ini tidak dibaca secara cermat oleh Kiai Hasyim. Membuat kepemimpinannya kurang efektif. Banyak orang kecewa.
Kalau kritik utama Anda apa?
Saya kira dia (Hasyim—red) terlalu jauh membawa NU ke arena politik. Sebetulnya masalahnya bukan tidak boleh masuk politik tapi masalah proporsionalitas. Sementara ini terlalu jauh membawa NU ke arena politik, dan kemudian pekerjaan-pekerjaan yang lain terlupakan; pendidikan dan kaderisasi misalnya.
Saat ini muncul keluhan dari banyak orang-orang NU, anak-anak muda NU, kader-kader NU “dibajak” oleh orang lain, atau partai lain, atau kelompok lain. Mereka menguasai masjid NU kemudian mengambil alih anak muda NU menjadi PKS. Itu tidak bisa disalahkan, karena selama ini mereka tidak pernah mengurus itu. Jadi kaderisasi tidak jalan, tidak dirawat karena sibuk dalam politik.
Oleh karena itu, salah satu platform saya adalah bahwa selama ini self image NU, entah dari pihak dalam atau pihak luar, itu mengidentikkan ormas NU dengan ormas desa atau rural based organization.
Ormas berbasis masyarakat pertanian?
Dulu mungkin iya, sekarang tidak. Orang-orang NU itu sendiri justru lebih banyak tinggal di kota, kemudian mereka juga masuk dalam sektor pendidikan modern, masuk dalam sektor profesional.
Muhammadiyah bergerak secara organisasi. NU ini hanya orang-orangnya yang bergerak. Bagaimana membuat NU lebih modern?
Itulah masalahnya. Ada urbanisasi internal dalam NU. Dalam pengertian pengkotaan: orang-orang NU pindah ke kota. Tetapi ini tidak diperhatikan, tidak direspons. Lalu kebutuhan sosial-spiritualnya beda dengan anggota NU yang ada di pedesaan. Menurut saya, elit-elit NU sekarang gagal menjawab ini.
Salah satu platform saya adalah ingin membawa NU dekat yang di kota tanpa melupakan yang di desa. Jadi self image-nya harus diubah. Bukan hanya pedesaan tapi juga urban.
Bahkan mungkin suatu saat, jumlah yang di kota itu lebih besar, dan itu menurut saya jarang disentuh, jarang disapa, jarang dirawat. Sekarang yang paling rajin merawat itu seperti PKS atau kelompok-kelompok lain, gerakan Islam baru. Memang merumuskan yang pas dengan yang berkembang sekarang ini tidak mudah. Tapi saya selama ini bekerja dalam wilayah itu. Saya optimistis bisa melakukan itu.
Lalu apa yang bisa dirasakan anggota NU jika Anda terpilih?
Karena kader NU tidak hanya di pedesaan, tapi juga perkotaan dan mereka punya kebutuhan yang beragam karena yang diminta warga NU ini tidaklah uang atau apa. Kebutuhan utama mereka adalah misalnya kebutuhan spiritual. Dalam pengertian, di kota saat ini muncul kebutuhan Islam baru yang memenuhi kebutuhan perkotaan. Lalu mengapa NU tidak masuk ke dalam wilayah itu? Memberikan jawaban atas kebutuhan spiritual.
Kedua, kebutuhan intelektual. Organisasi Islam yang tepat untuk mereka ini seperti apa? Misalnya menjawab kelompok-kelompok di kota yang bergaris radikal, mengkampanyekan ideologi jihad, mengkampanyekan khilafah atau antinegara Indonesia dan seterusnya. Lalu muncul gerakan yang keras.
Paham itu masuk di kelas menengah kota, pengajian-pengajian di kantor-kantor Jakarta. Supplier da’i-nya bukan dari NU atau Muhammadiyah. Itu menciptakan efek yang tidak sepele. Tiba-tiba muncul kecurigaan pada agama lain, mengucapkan selamat Natal haram, merokok haram, yang kayak begitulah. Berjabat tangan dengan perempuan tidak boleh. Ada isu-isu di kalangan perkotaan yang tidak dijawab dengan baik oleh NU.
Belum lagi isu-isu perkotaan lain. PKS rajin sekali merespons isu-isu perkotaan. Misalnya bencana alam, mereka hadir secara fisik. Entah melalui simpul, ikon atau orang-orangnya. Mereka sangat responsif. Memang mind-set NU itu tidak terlatih untuk perkotaan ini.
Bukannya PKS itu partai?
PKS itu memang partai tapi pendekatannya ormas. Sebetulnya apa yang dilakukan PKS bisa dilakukan oleh yang lain. Bisa dilakukan ormas seperti NU dan Muhammadiyah. That’s fine, malah bagus. Itu suatu tantangan mendesak menurut saya.
Bagaimana cara NU menjadi penyeimbang gerakan Islam di perkotaan beraliran keras?
Memperbaiki kelembagaannya. Sebetulnya banyak sekali generasi NU yang di bawah saya yang pendidikannya tidak lagi di pesantren tapi di perguruan tinggi di perkotaan. Sayangnya ini tidak dirawat NU. Kalangan anak muda itu yang menjadi persemaian ideologi yang radikal atau bukan radikal.
Tiba-tiba di kampus IPB ada gerakan menolak konser musik karena dikatakan tidak Islami. Itu agak aneh. Jadi ada proses konservatisasi di kampus-kampus umum. Mestinya itu tugas NU yang sebelum ini dikenal sebagai ikon Islam moderat di Indonesia, tapi itu kan hanya retorika saja.
Dulu bukannya citra moderat itu sangat terasa pada zaman Gus Dur jadi Ketua Umum PBNU?
Ya, terasa sekali.
Dikaitkan dengan itu, karena bobot NU sebagai ormas terbesar di Indonesia, menurut saya tidak bisa tidak memang juga menjadi jendela Indonesia. Selama ini pemerintah mengatakan Indonesia pilar Islam moderat di dunia Islam. Pilarnya itu antara lain NU dan Muhammadiyah. Artinya aspek internasional dari NU itu sangat penting. Menjadi Ketua NU menjadi etalase Islam Indonesia di luar, tidak bisa kita bicara domestik saja.
Kalau soal hubungan dengan PKB?
Hubungan NU dengan PKB itu sangat dekat dan tak bisa diingkari. Tapi memang PKB dilahirkan tokoh-tokoh NU seperti Gus Dur dan sejumlah kiai-kiai kelas I. Deklaratornya sebagian besar pengurus NU. Jadi secara historis tak bisa dipisahkan. Karena itu, kalau ada kedekatan yang lebih dibanding partai-partai lain, itu saya kira wajar.
Meskipun kiprah anak-anak NU tidak dibatasi pada PKB saja, tetapi kedekatan itu memiliki makna yang khusus bagi warga NU. Saya tidak mengatakan PKB sama dengan NU, sama 100 persen plek, tidak. Artinya seluruh warga NU harus berkiprah melalui PKB, saya tidak setuju. Tetapi mengingkari hubungan historis NU dan PKB itu tidak masuk akal.
Visi Anda di perkotaan, sementara basis kiai-kiai di pedesaan. Bagaimana cara Anda menarik dukungan mereka?
Dalam Muktamar itu, yang memiliki suara sebetulnya bukan kiai. Tapi pengurus cabang dan pengurus wilayah. Umumnya mereka di wilayah perkotaan di daerahnya masing-masing. Jadi kiai hanya tokoh moral. Pemegang suara adalah cabang dan wilayah, ada sekitar 500-an.
Lalu bagaimana meyakinkan para kiai?
Saya kira itu tantangan terberat, tapi saya optimistis itu bisa saya lakukan. Cuma saya sendiri tumbuh dari tradisi pesantren. Bapak saya seorang kiai. Saya belajar di Pesantren. Artinya saya mengetahui dapur NU. Saya tahu berkomunikasi dengan para kiai, meskipun itu tidak ringan karena ada serangan sistematis melemahkan saya. Tapi bukan mustahil. Beberapa sudah berhasil saya dekati.
Contoh serangan melemahkan itu apa?
Contohnya, selama ini saya melakukan kritik keras terhadap Islam radikal karena mereka mengusung negara khilafah yaitu Hizbut Tahrir. Ini kelompok, walaupun tidak besar, agresif sekali bahkan sampai ke pesantren. Mereka punya rencana membentuk imperium dunia yang tidak mengenal negara.
Kritik saya pertama, gagasan ini tidak masuk akal. Kedua, bertentangan dengan visi NU. Dalam Muktamar NU tahun 1984 diputuskan bentuk negara Indonesia adalah bentuk final. Kita tidak memimpikan lagi negara Islam. Karena itu tokoh-tokoh NU tidak seantusias kelompok yang lain dalam mendukung Perda Syariah Islam karena mereka memandang meskipun tidak identik dengan negara Islam, tapi ada unsur yang kira-kira dekat dengan itulah dan bisa menimbulkan kecurigaan nonmuslim.
Saya katakan bahwa kritik saya pada kelompok radikal itu sesuai dengan Khittah NU 1984 yang mendukung Darussalam, bukan Darul Islam. Kiah Ahmad Siddiq dari Jember mengatakan, kita tidak hanya perlu memupuk persaudaraan Islam tapi juga persaudaraan tanah air—ukhuwah wathaniah. Jadi sebetulnya pikiran-pikiran saya dari semangat Khittah itu.
Masalah Anda bukan kiai yang dituakan bagaimana? Apa tidak berpengaruh dalam pencalonan?
Justru kiai beneran posisi mereka di Rais Aam. Tapi ini kan di Tanfiziyah atau eksekutornya. Justru pada posisi tanfiziyah yang dicari adalah orang yang mengerti tradisi NU, dan punya kemampuan mengelola organisasi. Jadi kiai sekaligus manajer-lah.
Seberapa besar kemudaan Anda menjadi daya jual?
Di banyak kalangan, kemudaan itu sangat menjual sekali. Misalnya, Gus Mus dalam wawancara dengan NU Online—dan dia selalu mengatakan itu sejak di Muktamar Kediri 1999, dan diulang di Muktamar Solo 2004—mengatakan kita yang tua-tua tahu dirilah, biar yang muda yang maju. Artinya suara itu di kalangan kiai ada.
Selalu Gus Mus merujuk pada pengalaman di masa lampau. Kiai Wahid Hasyim memimpin NU di umur 40 tahun. Kemudian Kiai Mahfud Siddiq sebelum Kiai Wahid itu juga di bawah umur 40 tahun, yakni 24 tahun. Idham Cholid jadi Ketua PBNU pada usia 31 tahun. Gus Dur ketika pertama kali jadi Ketua PBNU masih muda sekali. Beliau lahir tahun 1941, lalu tahun 1984 terpilih, jadi 43 tahun terpilih. Masih muda sekali. Jadi memang pada saat itu, muda-muda sekali. Saya kira ada presedennya.
Gus Dur sebelum maju menjadi Ketua, belum menjadi kiai. Jadi yang diinginkan oleh orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak asing. Dia menguasai kitab-kitab kuning. Tapi bukan itu saja, juga bisa mengelola organisasi.
Sudah siap dengan intervensi partai politik?
Pengaruh kultur partai dalam ormas tidak terlalu baik. Kalau bisa direduksi dihilangkan sama sekali. Meskinya alam partai dan alam ormas beda.
Partai NU yang tembus electoral threshold hanya PKB. Menurut saya ketidaktepatan Pak Hasyim adalah membawa NU terlalu jauh dalam dinamika kepartaian. Dan itu tidak parallel dengan gerakan PKB sendiri. PKB kemarin mendukung SBY, kemudian Hasyim mendukung JK. Terjadilah konflik di bawah. Kalau dari awal Pak Hasyim netral, itu tidak masalah. Dengan menggerakkan mesin NU, serentak massa NU bergerak ke arah lain. Udah begitu, kalah lagi.
Bagaimana dengan dukungan Gus Dur?
Gus Dur kemarin golput. Antara Gus Dur dengan Hasyim ada ketidakserasian.
Hasyim Muzadi bilang pemikiran liberal melanggar Khittah NU, bagaimana ini?
Karena itu, selama ini dikatakan ada konflik yang keras sekali di dalam bahwa Hasyim ketika terpilih tahun 2004 di Solo meneken kontrak politik dengan Kiai Sahal bahwa dia tidak akan terlalu jauh masuk ke dalam dunia politik kepartaian. Tiba-tiba dia sekarang melanggar janjinya. Kiai Sahal marah sekali. Lalu dikatakan kira-kira NU itu independenlah. Kedekatan dengan partai wajar tapi tidak harus dibawa ke dalam.
Nah, umumnya yang mengkritik anak-anak muda yang kritis. Kemudian dia (Hasyim) sebut sebagai liberal, meskipun definisinya tak jelas juga. Menurut Kiai Hasyim, liberal itu melanggar khittah. Arahnya ke saya. Dia menganggap setiap orang yang berpikir kritis, rasional, langsung dituduh liberal yang kita sendiri tak tahu apa definisinya.
Padahal NU itu sendiri sebetulnya dalam banyak hal liberal juga. Dulu ketika Kiai Ahmad Siddiq menjustifikasi Pancasila sebagai ideologi yang tidak berlawanan dengan Islam, banyak orang marah-marah. Pancasila itu dianggap kekafiran kok, karena banyak kelompok-kelompok yang mengingkari Pancasila.
Hormat bendera saja haram. Ketika itu diskursus menganggap Pancasila itu haram. Lalu tiba-tiba Kiai Ahmad Siddiq menjustifikasi itu sebagai ideologi yang tidak bertentangan dengan tauhid. Dilihat dari sisi orang-orang ini (yang mengatakan Pancasila haram—red), liberal sekali. Dan kritik saya terhadap orang radikal itu kelanjutan dari (pendapat Kiai Ahmad Siddiq) ini. (vivanews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar