Peran dan gerakan perempuan belakangan ini semakin berkembang, namun diantara mereka sendiri banyak terdapat perbedaan konsep tentang bagaimana perempuan yang seharusnya sehingga mereka berbeda pandangan mensikapi kasus aborsi, pornografi kebebasan dan lainnya. Dilingkungan NU, terdapat tiga badan otonom perempuan untuk mewadahi beberapa kelompok. Bagaimana upaya dan kerjasama yang harus dijalankan baik antar ormas perempuan maupun antar badan otonom perempuan NU, berikut ini wawancara dari NU Online dengan Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa seusai menerima Pimpinan Perempuan Hizbullah Afaf Al Hakim di Gd. PBNU awal Desember lalu.
Gimana arah gerakan organisasi-organisasi perempuan?
Aku melihatnya positif saja keberadaan berbagai organisasi perempuan, tetapi yang sekarang perlu dilihat adalah kemampuan sinergi, apapun levelnya, berapapun anggotanya, apapun programnya. Menurut saya, sekarang yang harus dikonsolidir adalah sinergi. Misalnya kalau organisasi Islam ada di BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia), tapi itu kayaknya konfederasi saja, seperti Kowani, kan konfederasi.
Jadi itu belum menjadi forum sinergi diantara kekuatan organisasi wanita atau perempuan atau ormas atau apapun. Kan macam-macam, Kowani kan sudah 76, BMOIWI mungkin 37 organisasi, tetapi itu belum menjadi media sinergi diantara kekuatan organisasi perempuan. Nah apa yang harus dilakukan kalau ada sinergi, ya kita harus melakukan pemetaan bersama, oo.. disana, tingkat kematian perempuan masih tinggi, siapa sih yang masih bisa involve, disana angka buta aksara masih tinggi, siapa yang bisa nangani disana, oo disana itu yang punya potensi, tetapi sumber finansialnya kecil, mereka perlu capacity building, mereka perlu dukungan, modal.
Pemetaan ini yang penting tanpa harus menunggu siapa-siapa. Maksud saya nga usah menunggu pemerintah, nga usah menunggu sopo-sopo, organisasi itu kalau secara mandiri bisa berbagi peran, ya, meskipun tidak semuanya ada yang akan bisa diselesaikan. Masing-masing organisasi saat ini kan sudah bekerja, tetapi kerjasama ini kan sifatnya masih seremoni-seremoni, belum pada kerjasama yang sinergis dan strategis, belum seperti itu.
Kalau kerjasama diantara organisasi perempuan NU sendiri gimana?
Ternyata tidak sederhana, dulu awal saya jadi ketua umum, paling tidak kalau dalam struktur NU, Muslimat paling senior gitu, meskipun dari sisi umum sejak saya jadi ketua Muslimat masih lebih muda daripada ketua Fatayat. Lha aku yo ora ngerti Fatayat dituakan umurnya, lalu dituakan lagi. Jadi meskipun saya terpilh lagi, tetap lebih muda daripada Fatayat. Tapi saya mau melihat pada struktur ke-NU-annya bahwa Muslimat lebih senior. Saya mengkomunikasikan bagaimana program ini bisa kerja bareng, ternyata nga mudah. Saya tidak tahu kenapa waktu itu, kemudian ada saja yang menjadikan kita tak bisa melanjutkan kerja bareng itu. Saya berharap ini bisa dimediasi oleh PBNU karena Muslimat, Fatayat dan IPPNU itu setara dihadapan PBNU. Hanya saja kalau dilihat dari kelahiran dan usianya, Muslimat kan paling tua, gitu kan, tetapi bahwa posisinya dihadapan NU sama, tidak ada yang lebih senior, tidak ada yang lebih dominan.
Makanya perlu mediasi PBNU untuk mensinergikan diantara seluruh kekuatan badan otonom. Ini antara lain yang saya beberapa kali sempat menyampaikan kepada para pengurus PBNU. Jadi menurut saya, wong namanya berproses, masing-masing juga mengalami dinamika, jadi maksimalisasi dari peran banom, lembaga dan lanjah itu antara lain butuh endorsement. Namun, kayaknya 99.9 persen masih jalan sendiri-sendiri.
Pertemuan untuk bisa mensinergikan lembaga, lajnah dan banom itu belum tentu enam bulan sekali, belum tentu setahun sekali, coba. Ini kan harus ada forum yang mengkomunikasikan, bahkan saya ingin ada rasingram atau rapat sinkronisasi program. Rasingram ini penting supaya lembag-lembaga di NU melaksanakan program seperti yang dilaksanakan badan otonom, itu akan overlap. Ya sebetulnya masing-masing ingin memaksimalkan fungsi, tetapi bahwa kalau kita itu ada rasingram dan tidak, itu rasanya beda. Misalnya mau disinkronisasikan dengan rapat pleno PBNU, itu terlalu banyak agenda, itu khusus rasingram tok. Kalau nurut aku, kita memang harus menyediakan waktu barang dua hari untuk sinkronisasi program, kalau tidak ya malam, berapa malam, pagi sampai sore beraktifitas, terus malam ngumpul, rasingram. Jadi pemetaannya jelas, jadi apa yang dilakukan oleh lembaga, lajnah dan banom itu termonitor dan progresnya diketahui PBNU.
Terkait dengan gerakan perempuan di NU belum memiliki visi yang sama?
Tak harus disamakan, nek aku Muslimat disamakan dengan IPPNU kan lucu, ya pasti beda. Muslimat lebih banyak pada layanan, kalau Fatayat lebih pada advokasi, kalau IPPNU pada fasilitasi karena ia organisasi kader, bukan ormas, pasti beda. Tapi bahwa perlu ada sinergi diantara kekuatan perempuan NU, sinergi diantara banom, sinergi diantara lembaga. Makanya saya selalu mendorong HIDMAT atau himpunan daiyah muslimat untuk selalu sinergi dengan LDNU. Ini terus menerus saya ingatkan begitu, tak boleh menunggu siapa-siapa untuk memediasi. Memang pimpinan Hidmat harus proaktif ketemu dengan pimpinan LDNU, bikinlah program baru.
Pandangan tentang Gerakan feminisme ini gimana Mbak?
Tergantung, feminis apa, kan ada yang sosialis, liberal ada yang konservatif. Jadi saya rasa kalau kaum feminis terkait dengan memaksimalkan peran perempuan its ok, tetapi kalau sudah melampuai batas-batas, saya tetap berada dalam barikade norma, barikade nilai. Kalau ormas Islam ya barikade syar’i. Itu tetap dijadikan pagar. Kalau kita sudah keluar dari norma, kita sendiri mereduksi makna kemanusiaan kita. Misalnya begini, yang atas nama women right, kemudian mereka single parent, pokoknya saya mau beli sperma, saya nga mau suami, ia bilang soal haknya dia, tapi hak anak gimana, ini sudah keluar dari norma.
Nah, sekarang kelompok yang atas nama women right, atas nama reproductive right, lalu mereka mencoba untuk melakukan legal aborsion, kalau Islam sudah keluar dari syariah. Lha kalau yang seperti itu harus dipagari, aborsi boleh, pada tataran ketika janin itu mengganggu keselamatan itu. Eksepsi-eksepsi seperti itu harus dibuat sesuai dengan aturan, ada aturan agama, norma, susila. Saya terserah mau dibilang sok moralis, sok apa-sok apa, tetapi itulah yang membedakan manusia dan yang tidak manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan itu sendiri.
Diantara mereka ada yang memang women libs, gitu. mereka yang berusaha melaksanakan hak perempuan sebebas-bebasnya saya tidak bisa seperti itu. Norma-norma itulah yang menjadikan ada peradaban, budaya. Jadi yang tidak dimiliki dia, yang bukan manusia.
Beberapa aktifitis perempuan Islam sendiri juga menentang poligami, menentang RUU APP, mendukung aborsi, ini sebenarnya gimana, mereka kan berlatar belakang Islam?
Itu masuk kategori women liberation, kalau sudah keluar dari norma-norma, ya harus dikembalikan pada makna kemanusiaan itu sendiri, makna peradaban itu sendiri. Ketika mereka bercerita tentang masyarakat madani, masyarakat mutamaddin, gimana kemudian peradaban itu akan mereka tempatkan, gimana martabat manusia itu akan mereka tempatkan, tidak bisa atas nama hak-hak reproduksi, lalu semuanya dilakukan semau-maunya kan, jadi ada pola-pola regulasi.
Saya rasa, saya dalam beberapa hal dianggap orang konservatif. Bagi saya manusia harus dibedakan dengan yang bukan manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan atas nama kebebasan tanpa batas, jadi bagi saya menempatkan perempuan sebagai ibu utama dan pertama itu menjadi penting. Menempatkan perempuan sebagai bagian dari penerus budaya, penerus peradaban itu menjadi penting. Kalau ada pola-pola yang kita tahu menerabas dan itu dibiarkan, merusak peradaban manusia itu sendiri, juga dilestarikan, ya saya berbeda dengan mereka.
Terus interaksi antara laki-laki dan perempuan gimana mbak?
Saya rasa hubungannya fungsional saja, ya struktural fungsional, apalagi memang, kalau ini pada posisi sesuai dengan profesinya masing-masing, memang kenapa, perempuan harus jadi laki-laki atau sebaliknya, tidak seperti itu.
Kan ada kesetaraan dalam keluarga?
Sekarang begini, ada saatnya suaminya sakit, yang cari uang istrinya, ada suami pemabuk, tukang judi, pantas tidak dia menjadi kepala keluarga. Ayolah dilihat persoalan yang muncul dalam masyarakat kita. Jadi menurut saya bagaimana dibangun kesetaraan dalam posisi mutual understanding. Ya mereka harus memahami posisi masing-masing, tidak harus memaksakan. Mbok meskipun suaminya penjudi, peminum, pemakai narkoba, pokoknya dia kepala keluarga, apa keputusan yang mau diambil, yang benar saja.
Nah sekarang ini yang harus dijadikan pertimbangan untuk membangun mutual understanding bahwa sekarang kecenderungan gugat cerai tinggi sekali, “tinggi pake sekali”. Misalnya di Makassar, data tahun 2005 karena ini data yang bisa diakses untuk tahun 2007, dari dirjen Bimas Islam, 85 persen itu gugat cerai, di Jakarta ini 75 apa 80 persen, di Surabaya 80 persen, di Bandung justru 65 persen. Di Semarang 70 di Medan 75 persen, di Cilacap 80 persen, yok opo ini.
Ini karena apa?
Ada 13 items, pertama mereka merasa tidak harmonis, kenapa tidak harmonis, yang tertinggi ini ternyata suaminya poligami, kedua suaminya tidak bertanggung jawab, ketiga, persoalan ekonomi dan ke 13 persoalan beda partai. Ini yang saya apal. Ini kalau tidak ditelaah bisa berbahaya lho, menyangkut ketahanan keluarga. Janganlah bilang ketahanan nasional kalau keluarganya rentan seperti ini.
Kalau menurut aku ini problem serius, gugat cerai, kenapa tidak harmonis. Saya rasa Dirjen Bimas Islam sudah menginformasikan, tetapi tidak menggelinding, meskipun banyak media memuat. Masing-masing menurut saya harus memberikan respon supaya lalu ada refleksi dari masing-masing individu dan keluarga. Ini jangan dianggap remeh. Dan di Muslimat, ini tak omongno di berbagai tempat. Bapak-bapak jagalah keluarga, jangan cuma ibu-ibu yang disuruh jaga keluarga. (mkf NU Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar