Wawancara Bersama Rais PBNU Prof Dr Said Agil Siradj
T : Bagaimana review bapak terhadap peran NU dari lahir hingga hari ini ?
J : NU sejak dilahirkan masih berupa forum tafsirul afkar tahun 1914 di Surabaya memang membawa misi yang sangat mulia, mengintegralkan antara nilai universal Islam dengan budaya. Menghindari benturan antara agama dan budaya, pokoknya memahami Islam secara prinsipil, tak bisa ditawar-tawar, tapi selain yang prinsip, disitulah wilayah kita berkreasi, berupaya menemukan format yang pas, yang menarik NU itu sejak dulu sampai sekarang, kalau memegang prinsip solid, tapi kalau sudah dalam tataran aplikasinya di tengah masyarakat, masih belum solid sebagai jam’iyyah, kalau pegang pola pikir yang mendasar, prinsip, itu kita solid. Tapi bicara politik, ekonomi, budaya, sistem pendidikan masih belum satu.
T : Kira-kira faktornya apa ?
J : Faktornya budaya pesantren yang diatur oleh otoritas kyai sehingga membentuk masyarakat yang komunalisme. Jadi, kyai itu bagaimanapun walaupun kyai ngga masuk dalam struktur NU, dia itu lebih dominan daripada NU yang organisatoris. Jadi karena di sini NU dipahami sebagai ideologi, yah aqidah lah, sehingga masyarakat masuk NU itu nurut kyai bukan nurut pengurus NU. Lebih nurut ke kyai karena dipandang ideologinya, karena begawannya kan kyai. Makanya disitulah problem antara jamiyyah dan jamaah. Secara jamaah kita besar sekali sampai 60 juta tapi sangat lemah dalam arti belum mampu men-solidkan jamaah menjadi jamiyyah.
T : Ini kan keyakinan yang sudah cukup lama, lalu bagaimana mengatasinya ?
J : Sekarang ini dengan adanya partai-partai politik yang sudah cukup banyak dan kondisi yang sangat amburadul, banyak yang melupakan kepentingan bangsa, kita sekarang nih menampilkan agenda universal, kebangsaan, tidak bicara politik sekarang harus lebih ditekankan lagi. Kalau NU masih bicara politik, kecil sekarang partai-partai politik lagi sibuk dengan masing-masing kelompoknya. Kita bicara tentang kebangsaan jadi kita minimal sejajar dengan fungsinya TNI lah, mempertahankan kesatuan bangsa.
T : Kalau soal kebangsaan itu, sebetulnya dalam NU itu ideology yang prinsipil atau hanya siasat ?
J : Kalau bagi kita yang memahami itu prinsip, kita tahu nabi Muhammad di Madinah tidak membangun negara Islam, negara madinah, yang penduduknya ada Islam muhajirin, Ansor, Yahudi dll Nabi Muhammad sendiri mengakui lah keberadaan mereka sebagai warga negara madinah,
T : Selama ini kan ada kecenderungan bahwa sebagian orang-orangNU mulai bicara soal syariat Islam, di Banten misalnya, NU ada yang mendukung syariat Islam.
J : kalau memang mayoritas menghendaki syariat Islam, dan memahami betul bagaimana menjalankan sariat Islam, saya kira ngga apa-apa itu sebagai dasar hukum wilayah disitu, tapi kendalanya sangat besar. Orang Aceh Abubakar Ilyasa itu datang ke IAIN ke pasca Sarjana IAIN. Saya diundang, ternyata yang dibutuhkan bukan hanya hakim, kalau hakim barangkali siap, pengacara muslim seperti apa, polisi muslim seperti apa proses penyidikan Islami itu seperti apa, proses advokasi Islami itu seperti apa ? Saya rasa lebih terdorong karena emosi daripada cita-cita yang luhur. Tapi untuk nasional, tidak usah itu sudah keputusan Munas Ulama di Pondok Gede kemarin 28-30 Juni 2002 itu, kalau secara nasional pasal 29 UUD tidak usah diamandemen.lebih sepakat dengan Muhammadiyah. NU-nya waktu itu dari komisi A saya dulu. Kenapa karena itu pertanyaanya syariah yang mana yang dipake ? di Saudi Arabia mahkamah syariah menjatuhkan hukuman mati kepada Sayyid Mohammed Alwi al-Maliki. Mahkamah Syariah menjatuhkan hukuman mati kepada salah seorang ulama besar. Yang kita khawatirkan, syariat Islam dijadikan alat untuk membangun kekuasaan dalam kehidupan berpolitik. Contohnya Saudi Arabia oposisi dianggap kafir itu juga Juhaeman yang menyerang tahun 1979, yang mengakui imam mahdi itu, itu dianggap kafir langsung dieksekusi.
T : Ekspektasi orang luar terhadap NU sebagai penyeimbang kan besar itu, tapi peristiwa itu terlihat kan NU tidak tampil begitu tegas.
J : Kalau saya sih tegas, dulu sudah diprediksi oleh Rasulullah ketika Rasulullah membagi rampasan perang dari ka’ronah, Thaif dan Hunai, karena kelihatannya tidak adil, ada yang dikasih 100 onta, ada yang 50 onta, ada yang tidak dikasih, ada orang yang mendatangi nabi sambil mengangkat telunjuknya “Muhammad, bagi-bagi yang adil!” Nabi mengatakan apa yang saya lakukan itu perintah Allah, bukan kehendak saya, setelah orang itu pergi, nabi mengatakan, akan ada nanti kelompok dari umat saya, yang hafal Quran, baca Quran tidak melewati tenggorokannya. Artinya pemahamannya sangat mendasar, mereka itu hum syaro khalki sejelek-jeleknya manusia dan binatang. Orangnya ini, padahal dia ini orangnya ahli ibadah hafal Quran. Maka yang membunuh Sayyidina Ali itu juga orangnya Abdurrahman bin Muljam itu orangnya Qoimullaili wa soimunnahaar waqoimulqur’aan, tiap hari puasa, hafal qur’an, itulah pembunuh Sayyiddina Ali, kalau dangkal dalam memahami ilmu Al Qur’an nanti akan jadi khawarij yang mudah meng-kafirkan orang yang tidak sepaham. Bahkan ada lagi yang lebih ekstrim kelompok Nadhazahat, orang yang meragukan kekufurannya Ali itu kafir juga, Ketika Wasir bin A’to Mutazilah ketemu mereka, ketika tidak disangka-sangka ketemu dengan orang Khawarij, malah Wasir bin A’to mengaku orang Kristen, kami ini adalah ahlil kitab, dihormati sekali karena di Quran kita harus menghormati ahli kitab, tapi ketika bertemu dengan sahabat Abdullah bin Khattab, diajak, (NU Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar