Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri atau lebih akrab disapa Gus Mus merupakan pengagas pertemuan para kiai yang diselenggarakan di berbagai daerah. Apa sebenarnya tujuan dari pertemuan ini, lalu apa hubungannya dengan fenomena kiai yang belakangan mulai terjun dalam politik praktis. Berikut ini wawancara dengan NU Online dalam acara launching Majalah MataAir beberapa waktu lalu.
Gus Mus beberapa kali telah menggagas pertemuan-kiai-kiai NU di berbagai daerah, sebenarnya apa tujuan dari pertemuan para kiai tersebut?
Jadi, kiai-kiai itu resah melihat banyaknya kiai yang berpolitik. Dengan adanya pertemuan ini mereka lego, masih ada kiai-kiai yang tidak mengurusi politik ini salah satunya. Kemudian pemikiran-pemikiran yang dari bawah, asal usulnya bermula dari keinginan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz sejak muktamar NU di Donohudan minta dibantu, khususnya syuriyah. Maka kita mengadakan lajnah fukhus an nahdliyyah untuk menyerap aspirasi, pemikiran yang nantinya disampaikan ke PBNU untuk ditindaklanjuti karena ini sifatnya kan hanya pemikiran, bukan action. Mestinya PBNU yang melaksanakan ini, tapi kan kerjaannya banyak, ya urusan luar negeri, ya urusan macem-macemlah.
Urusan kekiaian ini kan hanya membantu dengan pemikiran, menyampaikan aspirasi masyarakat. Ini kita titipkan ke syuriyah, fikiran kiai-kiai di bawah. Selanjutnya PBNU yang menindaklanjuti untuk kerja nyatanya. Mereka ini orang NU semua, tidak ada orang luar.
Ada keresahan pada kiai yang berpolitik, sebenarnya apa yang salah dengan kiai yang berpolitik?
Tidak ada apa-apa, cuma banyak masyarakat yang suka politik, tapi banyak juga yang tidak suka. Mereka yang tidak suka politik merasa tidak dikancani kiai. Lalu muncul kiai yang menyatakan seperti itu masih ada, jangan khawatir, kamu tidak suka politik. Ada kiai yang masih mengurusi dzikir dan sebagainya.
Kiai yang berpolitik ini perlu apa tidak?
Ya lihat-lihat politiknya. Yang selama ini kiai-kiai lakukan pada zaman dahulu ada tiga. Politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Nah politik kebangsaan ini seperti yang dilakukan oleh Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari ketika mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah, ini politik untuk Indonesia, politik kebangsaan. Mengangkat Bung Karno sebagai wali ad dhoruri bis syaukah, itu politik kebangsaan.
Politik kerakyatan itu paling rajin kiai-kiai melakukan, yaitu melakukan pembelaan kepada rakyat. Ketika rakyat berhadapan dengan penguasa, dengan pengusaha, maka rakyat larinya ke kiai. Mereka yang mbelani.
Ketiga politik kekuasaan, lha politik yang ini sebetulnya banyak menguras energi dan tak karuan juntrungnya. Karena kalau politik kekuasaan, mestinya harus ada perencanaan yang matang bagaimana nanti kalau berkuasa. Bukan hanya memikirkan politik tapi tanpa melakukan perencanaan yang matang, nanti itu kalau sudah kuasa mau apa? Jangan-jangan kalau kita sudah kuasa seperti zaman Gus Dur. Sendirian Gus Dur karena yang siap berkuasa Cuma Gus Dur. Mestinya semuanya harus siap kalau memang mau berpolitik kekuasaan.
Kalau berfikir bikin partai biar kecil asal baik, tidak ada itu, ini majelis taklim. Kalau partai politik yang harus besar wong partai-partai besar saja berkoalisi kok, itu apa artinya. Dulu zaman orde baru, PDI dan PPP tidak ada artinya sama sekali, karena apa, karena kecil. Orang-orang kita itu, kalau bicara soal partai, soal politik, itu jangkauannya hanya sebatas menjadi anggota legislatif, tak lebih, itu ngapain, ya cari kerja saja.
Kalau berpartai harus besar, apa perlu melakukan konsensus bersama antar komunitas nahdliyyin menyatukan visi?
Sebelum orang-orang NU mau bikin PKB, saya sudah nulis di Jawa Pos dan tulisan saya dijadikan edaran oleh PBNU, kalau mau dilihat di PBNU masih ada dokumentasinya, bahwa harus ada rembukan bersama, kalau keluar, partainya harus satu, itu jelas. Kalau seperti sekarang, semakin banyak semakin kecil, ndak ada artinya.
Di satu sisi NU memegang khittah dalam arti tidak berpolitik, tapi di sisi lain kan diperlukan wadah untuk menyalurkan aspirasi politik?
Makanya, menurut saya ya itu yang selama ini digeluti, politik kebangsaan dan politik kerakyatan. NU mbelani rakyat itu sudah luar biasa. Umumnya orang NU itu petani di desa-desa, sekarang petani paling tidak karuan hidupnya, Kalau sekarang harga pupuk mahal, siapa yang menyuarakan aspirasi mereka kalau tidak kiai. Jadi politik kebangsaan dan politik kerakyatan ini yang perlu dijangkau, jadi politik kekuasaan ya biarkan mereka yang memang tahu dan suka, jangan seluruhnya.
Jadi keberadaan PKB dan hubungannya dengan NU bagaimana, kelahirannya kan difasilitasi oleh PBNU?
Ya, orang-orang NU, bukan PBNU. Gak ada kaitannya dengan PBNU, orang-orang NU yang tidak tahu politik dibikin tahu politik, dan yang saya tulis itu tidak dibaca atau apa. Dulu saya menekankan, kalau partai politik satu, insyaallah signifikan. Saya menekankan beberapa butir, salah satunya partai politik harus satu untuk wadahnya orang NU.
Kalau banyak kiai di daerah yang dimanfaatkan untuk kepentingan Pilkada ini bagaimana?
Pertama karena alamnya begitu, kedua karena pinternya yang memanfaatkan,. Ngak tahu pinternya yang memanfaatkan atau tidak ngertinya yang dimanfaatkan, apa saling memanfaatkan, wallahu a’lam. Tapi menurut saya nyucuk apa enggak, gitu, nyucuk apa enggak. Jadi misalnya kita dimanfaatkan oleh politisi-politisi, kita imbalannya nyucuk apa enggak. Kalau tidak nyucuk, termasuk tsamanan kolila, mansus itu, tidak boleh, kalau tsamanan katsiro itu masbuk.
Dalam kondisi seperti ini apa yang harus diperbuat oleh PBNU?
Harus tampil, ini termasuk dalam pertemuan-pertemuan kiai, NU harus berfikir, ini gawean saya, bukan kerjaan kamu, begitu lho. Harus tampil, masak suara NU kok kalah dengan suara FPI, kan dha lucu. PBNU harus tampil, sebagai mayoritas, sebagai yang terbesar, sebagai pelopor dalam segala hal, jangan orang lain lebih. Kalau menurut saya, pembelaan kepada rakyat harus di depan. Moral politik, NU yang memberikan, tidak berpolitik tapi memberikan etika-etika berpolitik. Ini harus terus diberitahukan tentang kemanfaatan begini ini. Mestinya PBNU yang mengarahkan dalam hal ini, begini-begini. (mkf NU Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar