Bulan ini, cukup spesial. Bukan apa-apa, karena ada dua momen tahun baru yakni, tahun baru Hijriah 1431 dan tahun baru Masehi 2010. Sebagai umat Nabi Muhammad saw, kita harus tetap bersemangat dan penuh harapan menyongsong masa depan. Apalagi, pada beberapa bulan ke depan, tiga ormas Islam terbesar di negeri ini akan menggelar Muktamar yakni, NU, Muhammadiyah, dan al-Irsyad al-Islamiyah. Sebagai ormas yang telah eksis sejak NKRI belum terbentuk, momen muktamar adalah ajang kompetisi berbagai tokoh untuk “menguasai” aset umat ini. Dengan berbagai motif dan tujuan, para kandidat mulai kasak-kusuk. Sayangnya, di antara para kandidat itu, khususnya di NU dan Muhammadiyah, muncul tokoh liberal yang juga berambisi menjadi ketua umum. Pada pendulum yang berseberangan, gerakan kaum “Salafi Ekstrem” juga kian meresahkan di tingkat akar rumput.
Untuk menjawab kesiapan NU, sebagai ormas terbesar di tanah air, dalam menghadapi momen muktamar sekaligus mengeliminir kekuatan kaum liberal dan radikal, redaksi SABILI mewawancarai KH Solahuddin Wahid, salah satu cucu pendiri NU, KH Hasyim Ashari.
Wawancara yang berlangsung di kediaman Gus Solah–panggilan akrabnya–di Kawasan Bangka Raya, Jakarta Selatan ini, berlangsung Ahad (6/12/2009).
Berikut petikannya:
Bagaimana kita menyikapi radikalisme dan liberalisme?
Saya pikir, kita kembalikan pemahaman kita pada diri masing-masing. Perbedaan pemahaman adalah keniscayaan. Dalam keluarga saja, antara kakak dan adik, ayah dan ibu, ada perbedaan. Yang penting adalah saling pengertian. Kebenaran itu datang dari Allah. Yang kita pahami tentang Sang Pencipta sangat terbatas. Karena itu, jangan sampai merasa bahwa pemahaman kita paling benar. Kita harus ingat, ada batas-batas yang harus dijaga. Ada penyimpangan, dan ada yang bukan. Yang jelas, ketika menyampaikan pemahaman, tidak boleh menyerang orang lain.
Sekarang, dengan menguatnya arus radikalisme dan liberalisme dalam pemahaman Islam, kita membutuhkan kode etik dakwah. Kalau dulu kita membuat kesepakatan dengan agama lain, bahwa agama yang satu tidak boleh mengganggu agama lainnya, dan sebaliknya. Sekarang, seharusnya juga ada etika agar di antara kita tidak menyerang pemahaman yang berbeda di dalam Islam. silahkan tidak setuju dengan sebuah pendapat atau pemahaman, asal jangan tidak dengan kekerasan. Ini sangat meresahkan. Musuh kita bukan perbedaan pendapat tapi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Seberapa besar kedua pemahaman ini merugikan NU?
Bisa dibayangkan sendiri, 40 persen umat Islam Indonesia adalah NU kultural. Jadi, jika ada pengaruh yang mewarnai seluruh bangsa Indonesia, sudah pasti 40 persennya adalah warga NU. Yang bisa dilakukan oleh NU hanya membentengi warganya dari serangan radikalisme dan liberalisme. Sekarang, gerakan radikal memiliki banyak radio yang mengkafirkan orang lain, kenapa kita tidak punya radio sendiri? Jika tak mampu sebagai alasan, kenapa bisa begitu? Kita mampu kok asal ramai-ramai, tidak ditanggung sendirian. Yang penting, kita memiliki kesadaran bahwa ada masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Beda pendapat di tubuh NU memang ada, tapi apa gunanya. Itu hanya menghabiskan umur dan menambah dosa. Contoh, kita mengkafirkan orang lain, nanti orang lain juga mengkafirkan kita.
Gerakan radikal dan liberal tak bersedia menangani masalah kristenisasi, tapi mereka justru mengacak-acak tubuh umat Islam?
Kita cari pimpinannya. Kita ajak mereka bicara. Pemerintah juga berkewajiban menangani karena mengganggu stabilitas negara. Kita mungkin tak mampu melacak siapa pembesarnya. Tapi intelijen negara pasti mampu. Kemudian ditanya apa maunya? Negara seharusnya juga memikirkan; mengkafirkan sesama Islam apakah ada sanksinya atau tidak? Jika ada, kita bisa menuntut. Karena dalam Islam, hukumnya sudah sangat jelas; jika kita mengkafirkan orang maka yang mengkafirkan itulah yang sebenarnya kafir. Tapi persoalannya, dalam konteks hukum negara, mengkafirkan sesama Islam ada tidak aturannya? ini yang menjadi pertanyaan kita.
Nyatanya, pemerintah justru memberikan angin pada mereka?
Ini sangat berbahaya. Tidak boleh pemerintah melakukan itu. Pemerintah harus menjadi penjaga ketertiban. Beragama itu jelas beribadah, tapi jika kita dikatakan kafir oleh orang yang masih satu agama, jelas ini mengusik hak dasar hidup kita. Karenanya, pemerintah harus segera mengambil tindakan. Pemerintah kurang awas dan tidak memahami bahwa banyak problem di negeri ini. Saat ini, kasus tentang ”Salafi Radikal” ini masih kecil, tapi nanti akan menjadi besar.
Atau, kemungkinannya pemerintah sebenarnya tahu, tapi pemerintah mendekati, memelihara, atau memanfaatkan, sehingga membiarkannya dengan imbalan atau kesepakatan tertentu. Ini kemungkinan, saya tidak bisa memastikan. Tapi faktanya, polisi kekurangan dana operasional, sehingga jika ada kasus yang tidak ada dananya mereka tidak mengurusnya. Polisi lebih menangani kasus yang ada dana operasinya. Kasus pornografi misalnya, justru orang bisnis pornografi yang ngasih duit ke oknum aparat.
Tapi untuk terorisme mereka cepat?
Justru itu, saya kan bingung. Polisi mau mematai-matai pesantren. Apanya yang mau di mata-matai di pesantren, nggak ada apa-apanya kan? Sebetulnya, bagi aparat itu gampang sekali untuk mendeteksi orang-orang yang berpaham radikal. Datang saja ke kelurahan, tanya mana yang pengurus NU, Muhammadiyah, al-Irsyad al-Islamiyah dan lainnya? Mana yang kira-kira ekstrim? Mudah sekali, karena masyarakat sebenarnya juga sudah mengetahui.
Apa NU pernah melakukan pembahasan terhadap radikalisme? Apa solusinya?
Pembahasan ada, tapi tidak ada jalan keluar yang nyata dan terukur. Masing-masing hanya menggerutu karena tidak tahu bagaimana cara mengatasinya, sementara eksesnya sudah dirasakan masyarakat. Terkait dengan ini, saya respek dengan Pak Mansur Suryanegara (Sejarahwan, red). Beliau mengatakan, saya belajar di al-Irsyad tentang bid’ah agar saya hati-hati, tapi saya menghormati orang lain. Ini bagus, ia menerapkan keyakinannya untuk diri sendiri dan tidak berani menghakimi orang lain yang masih seiman.
Apakah mereka masuk transnasional?
Gerakan transnasional itu banyak. Misalnya, wahabi radikal, salafi radikal, termasuk juga liberalisasi pemikiran keagamaan. Jadi, liberalisme keagaamaan juga termasuk gerakan transnasional. Yang harus kita ketahui adalah apa agenda mereka? Yang jelas, gerakan ini sangat membahayakan, karena kalo sudah menyebar, ini semacam operasi. Karenanya, kita harus mengetahui siapa yang menggerakkan semua ini?
Bukankah liberalisasi pemikiran sudah terjadi di tubuh NU?
Bahwa ada pemikiran liberal di NU memang benar. Dari dulu sudah dicontohkan. Misalnya oleh KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Bisri. Mereka adalah kakak dan adik ipar. KH Wahab adalah sosok liberal, tapi liberalnya tidak seperti sekarang. Contoh, sekitar tahun 1950-an saya dan adik, Umar Wahid, naik kereta api bersama KH Wahab dari Jakarta ke Jombang. Baru sampai di Bekasi, KH Wahab sudah membatalkan puasa Ramadhannya.
KH Wahab memakai metode yang paling mudah. Itulah yang kita anggap liberal, tapi tetap ada batasannya, tidak sebebas-bebasnya. Pemakaian akal memang perlu, tapi ada batasnya. Di NU sendiri seperti itu. Saya membatasi diri, karena masalah pemikiran keagamaan adalah kewenangan pengurus Syuriah NU, bukan urusan Tanfidziyah. Saya ingin menjadi Ketua Umum Tanfidziyah yang cakupan kerjanya adalah menjalankan program NU.
Apa sebab berkembangnya pemikiran liberal di NU?
Ini satu keniscayaan. Bahwa kemudian Gus Dur menjadi ketua umum, saya kira itu hanya mempermudah saja. Dulu, santri belajarnya hanya agama Islam saja. Sekarang tidak lagi, mereka belajar ilmu Barat yang mereka dapat dari universitas umum. Jadi tidak dapat dihindari. Ini hanya soal waktu saja. Saya mengetahui kelompok ini. Ada batas-batas yang bisa saya terima dan ada yang saya tolak. Misalnya, saya tidak bisa menerima gugatan mereka terhadap Mushaf Utsmani. Memang benar al-Qur’an disusun pada zaman Khilafah Utsman, tapi saya tidak bisa menerima pandangan mereka yang mengatakan ada yang seharusnya menjadi ayat al-Qur’an tapi tidak dimasukkan, dan sebaliknya. Saya berpendapat, sudah terima saja al-Qur’an yang ada ini, karena al-Qur’an yang ada saat ini lebih dari cukup untuk menjadi pedoman hidup kita secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbernegara, beragama, di dunia dan akhirat.
Bagaimana dengan respon dari gerakan liberal ini?
Jelas ada beberapa pandangan yang merespon gerakan liberal. Seperti Hamid Fahmy Zarkasyi dan Adian Husaini. Di sisi lain ada Nurcholis Setiawan. Masalah mana yang benar itu bukan wewenang saya, pengurus Syuriah NU yang berhak memutuskannya. Jika Ulil Abshar (pentolan Jaringan Islam Liberal, red) memiliki pandangan keagamaan tersendiri sebagaimana Zuhairi Miswari dan Moqsith Ghazali, itu pemikiran mereka pribadi, bukan pemikiran NU secara struktural dan kelembagaan. Secara organisasi dan struktural, pemikiran NU dikeluarkan oleh Syuriah yang disetujui melalui mekanisme Muktamar. Jadi, NU memiliki mekanisme tersendiri dalam menyikapi berkembangnya keragaman pemikiran orang per orang.
Bagaimana cara menyikapi orang yang berpandangan liberal?
Bagi saya, orang liberal tak perlu keluar dari NU, karena mereka pada dasarnya masih dalam proses pencarian. Nanti juga kembali pada pemahaman yang benar. Kita membalas harus dengan pemikiran juga. Belum lama ini, Ulil dan beberapa tokoh liberal NU “diadili” oleh Pemuda NU di Jawa Timur. Dalam diskusi itu, Ulil dan kawan-kawannya tidak bisa merenspon pernyataan-pernyataan Pemuda NU di sana. Kutipan-kutipan mereka, ternyata banyak yang tidak benar. Karenanya, saya mendukung diskusi-diskusi seperti ini, karena nantinya akan menemukan keberan yang hakiki. NU memang mendorong kebebasan mengekspresikan pemikiran kegamaan. Yang penting, pemikiran jangan dilawan dengan otot, tapi lawan dengan pemikiran juga.
Mungkinkah liberalisme dan radikalisme menguasai struktur NU?
Tidak mungkin keduanya akan menguasai NU, apalagi di struktur. Antara yang puritan dengan liberal tidak akan bisa menguasai NU. Saya pikir, jika Ulil mau masuk dan berkompetisi menjadi ketua NU, ya hanya sampai situ saja. Tidak mungkin kader dan pengurus NU memilih dia. Tradisi di dalam NU pasti akan menolak radikalisme dan liberalisme. Bisa masuk ke dalam pengurus saja sudah bagus. Tapi yang jelas, hingga saat ini belum dibuka bursa calon ketua PBNU. Bagi saya, jika ada ambisi menjadi ketua itu bagus. Lebih celaka lagi jika tidak ada yang mencalonkan diri sebagai ketua NU.
Tapi gerakan liberal menguasai media?
Saya pikir tidak juga. Memang mereka adalah penulis handal. Tapi yang menentukan calon ketua PBNU adalah cabang. Agar dapat terpilih sebagai calon ketua harus mendapat persetujuan dan dukungan dari 99 cabang NU.
Memang sulit mendapatkan dukungan 99 cabang?
Oh, sangat sulit. Contoh, saat Muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo, ada 9 orang yang mencalonkan diri. Waktu itu batasnya hanya didukung oleh 40 cabang. Yang memperoleh dukungan lebih dari 40 cabang hanya segelintir saja yakni, Pak Hasyim Muzadi, Said Agiel, dan saya. Lainnya tak sampai angka 40. Di Boyolali, tahun 2004, justru hanya dua kandidat yakni, Pak Masdar dan Pak Hasyim. Sekarang, Pak Hasyim tampaknya mau ke Syuriyah. Sekarang, yang muncul baru 5 sampai 6 nama yakni, Pak Said Agiel, Masdar, Farid, Slamet, Bagja, Ulil, dan saya.
Sebagai calon Ketua NU, apa yang akan Kiai usung untuk membenahi NU?
Saya bersama Pak Slamet dan Pak Masdar sepakat melakukan kegiatan bersama mengunjungi cabang-cabang NU di 33 provinsi. Di situ, kami akan menyampaikan pokok pikiran masing-masing sekaligus menyerap pemikiran mereka tentang masa depan NU. Sampai saat ini sudah kami laksanakan di 8 provinsi. Terakhir di Pontianak. Pekan depan, kami juga akan ke Makasar. Tapi sampai Maret, saat pelaksanaan Muktamar, tidak mungkin kami bisa mencapai 33 propinsi, karena waktunya terbatas. Ini adalah cara baru. Saya berprinsip siapapun yang terpilih sama saja. Kami hanya berlomba-lomba dalam kebaikan, tidak ada kompetisi secara kasar di dalam NU.
Apa yang Kiai sampaikan di cabang-cabang?
Pada kawan-kawan saya sampaikan, NU adalah organisasi besar dan panjang perjalanannya. Ajaran ahlussunnah sendiri sudah ratusan tahun umurnya, tapi baru pada 1926 berbentuk NU. Tahun 1945, NU terlibat aktif mendirikan Negara Indonesia Merdeka dan menyusun UUD. Kemudian, ketika pecah perang untuk mempertahankan kemerdekaan, NU mengeluarkan Resolusi Jihad yang menyerukan kepada pemuda Indonesia untuk berjuang melawan penjajah dan bagi yang terbunuh dalam pertempuran, ulama NU sepakat mereka termasuk dalam katagori syahid.
Selanjutnya, pada masa parlementer, NU juga ikut memperjuangkan terbentuknya Masyumi. Kemudian keluar dan membuat partai sendiri. NU juga aktif melawan PKI. Pada masa Orba, NU masuk PPP, memperjuangkan UU Perkawinan dan UU Pengadilan Agama. Pada era reformasi, NU keluar dari partai politik dan mendirikan mendirikan PKB. Nah, sekarang NU mau apalagi? Ini yang perlu dirumuskan dalam muktamar nanti.
Jadi, yang paling utama diperjuangkan NU saat ini, apa?
NU ini besar, tapi jika tidak bisa memainkan perannya tidak akan terasa kebesarannya. Karenanya, sesuai dengan tantangan kekinian, kegiatan pertama yang harus diagendakan NU adalah memperkuat amal usaha ekonomi, pendidikan, dan sosial. Dibanding Muhammadiyah, jelas NU tertinggal dalam tiga bidang ini, terutama pendidikan tinggi, rumah sakit dan ekonomi.
Kedua, NU harus menjadi unsur utama masyarakat sipil. Dalam negara ada tiga kekuatan yakni: pengelola negara (pemerintah), pengusaha, dan masyarakat sipil. Nah, kekuatan yang terakhir adalah NU karena warga NU mencapai sekitar 40 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jika kekuatan masyarakat sipil tidak didukung oleh NU menjadi kurang kuat. Disinilah NU harus bergerak.
Pada zaman Gus Dur, NU telah membuktikan dirinya menjadi kekuatan utama masyarakat sipil melawan Orba yang otoriter. Karena sekarang sudah tidak otoriter lagi, maka NU tidak perlu melawan pemerintah. NU bukan oposisi, tetapi tetap kritis terhadap pemerintah. Dulu NU memperjuangkan demokrasi politik, sekarang NU harus memperjuangkan demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat.
Ketiga, saat ini NU harus melepaskan diri dari politik praktis dan kekuasaan. Tapi NU harus menerapkan politik kebangsaan, politik keumatan, dan politik kemasyarakatan. Maksudnya adalah jika NU melihat ada produk UU atau produk pemerintah lainnya yang tidak benar, NU harus merespon dan mengoreksi melalui tokoh-tokohnya yang ada di pemerintah dan parlemen, dari partai mana pun. Jadi, sudah bukan zamannya NU terlibat politik praktis.
Apakah tidak ada resistensi, karena jenjang karir setelah ketua ormas adalah kekuasaan politik?
Itu yang harus dilarang. Makanya, saya mengusulkan agar Khittah NU dibidang politik harus diterjemahkan dan dipertegas. Bahwa NU tidak terlibat dalam partai politik manapun. Bahwa NU tidak mendukung calon manapun dalam pilpres atau pilkada. Jika nanti ada tokoh struktural NU yang menjadi calon presiden, calon wapres, atau kandidat dalam pilkada maka harus mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Sekarang, peraturan itu belum ada, makanya terjadi kesimpangsiuran. Bagaimana bisa, calon gubernur Jawa Timur dari NU ada yang jabatan strukturnya masih dipegang, dan ada yang dicopot. Ini kan pilih-kasih. Dulu, ketika saya menjadi cawapres saya mengundurkan diri dari kepengurusan NU, tapi Pak Hasyim tidak. Ini semua harus dibenahi.
Jika terpilih menjadi Ketua NU, apa program utama Kiai?
Saya akan konsentrasi membenahi organisasi dan kaderisasi. Menurut saya, Tanfidziyah itu hanya menjalankan program, tapi wewenang untuk berbicara pemikiran, terorisme, paham keagamaan, dan lainnya menjadi wilayah Syuriyah. Jadi, kebijakan berasal dari Syuriyah, kami yang di Tanfidziyah yang akan menjalankan. Inilah salah satu pembenahan penting di NU. Termasuk cara membuat kader yang baik dan berkarakter. Kader yang saya maksud adalah kader ormas yang bisa berkarya nyata untuk umat, bukan kader politik. (sabili.com)
Data Pribadi:
Nama : KH Ir Solahuddin Wahid
Tempat/Tgl Lahir : Jombang, 11 September 1942
Pendidikan Terakhir : Teknik Arsitektur ITB
Organisasi : Ketua PBNU, Ketua ICMI
Aktivitas : Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang
Pekerjaan : Konsultan Teknik dan Manajemen serta Penulis Lepas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar