Ketika NU memutuskan kembali ke khittah 26 pada Muktamar ke-27 di Situbondo 1984, masyarakat - utamanya warga NU - punya harapan besar bahwa organisasi kaum pesantren ini akan benar-benar bekerja untuk umat dan menyejahterakan warganya. Namun dalam perjalanannya ternyata NU sulit menahan godaan, terutama politik. Akibatnya, khittah, seperti diungkap Rais Am Syuriah PBNU KHA Sahal Mahfud, macet!
Bahkan kini para petinggi NU (baik tanfidziah maupun syuriah) di Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa kabupaten sibuk terlibat Pilkada. Yang dramatis di Nganjuk, ketua tanfidziyah dan rais syuriahnya, sama jadi kandidat wakil bupati dari partai berbeda. Benarkah keterlibatan pengurus NU dalam politik menguntungkan? Kenapa Mbah Sahal menganggap jalan khittah adalah yang terbaik? Berikut pandangan kiai intelektual yang populer sebagai penggagas fiqh sosial itu:
Dalam banyak pilkada di semua tingkatan, mulai dari pilpres hingga pilkades, banyak ketua NU yang maju sebagai calon. Akibatnya, banyak menimbulkan ekses tidak baik badi warga NU, misalnya mereka terkotak-kotak. Bagaimana kiai melihat ini?
Sebenarnya hal ini secara internal sendiri banyak yang mengecewakan. Saya sendiri juga ikut kecewa, karena netralitas dalam hal berpolitik itu dimaknai lain. Masyarakat itu masih tidak tega disapih, sehingga menjadi campur aduk persoalannya. Hanya secara organisatoris, memang sudah bisa dibedakan, tapi orangnya ini yang tak bisa lepas. Orang yang bertanggungjawab di satu organisasi, apapun dia mengatakan netral, kalau dia sendiri terlibat, itu ya tidak bisa.
Tapi aturannya kan membolehkan, selama tidak menggunakan atribut NU dan tidak menggunakan fasilitas NU?
Sebenarnya, aturannya tidak ada yang membolehkan maupun yang melarang. Keduanya tidak ada.
Kesimpulannya?
Ya, terserah orangnya. Kalau dia memang mau konsekuen meletakkan NU pada posisi yang netral, ya seperti saya. Tidak mendukung sana, tidak mendukung sini. Saya juga tenang. Semuanya datang ke sini minta restu, semua ya saya beri restu. Doa itu kan boleh-boleh saja.
Yang sudah terlanjur asyik dalam politik?
Susah itu, susah dipisah. Dan anehnya, beliau-beliau itu tidak mengerti apa itu arti politik.
Menurut kiai sendiri?
Politik itu kan diartikan sebagai siasah, sikap prilaku yang bertujuan untuk kepentingan kenegaraan. Ujung-ujungnya adalah kepentingan masyarakat banyak, tapi lewat kenegaraan. Selama ini pengertian politik (seperti) itu tidak dipakai. Pokoknya dia terjun di partai, katanya sudah politik, belum tentu. Orang yang benar dan sehat pikirannya seperti itu. Tapi kalau tidak sehat, tidak bisa berpikiran seperti itu.
Ibarat penyakit itu hanya penyakit orang NU atau penyakit bangsa secara umum?
Pada umumnya. Ini penyakit bangsa, tidak hanya orang NU.
Dalam kondisi seperti itu, tokoh NU yang terlibat kita biarkan?
Kita peringatkan. Kedua, harus ada tindak lanjut, tindakan preventif terhadap orang itu. Paling tidak, ada keputusan rapat untuk sementara dia sudah aktif memasuki masa kampanye, dia nonaktif saja dari NU. Dia tinggal pilih.
Andai dia sudah nonaktif?
Itu memang kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Tapi secara formal dia tidak salah.
Tapi faktanya kan sama saja. Orang tetap tidak bisa membedakan ketua NU itu aktif atau nonaktif?
Itu kan karena kebodohan orang saja. Tidak bisa melihat substansi dan manusia. Kalau sudah bicara itu, kembali ke pendidikan, dong.
Pendapat Kiai Sahal tentang ketua NU yang menjadi kepala daerah, bupati misalnya?
Justeru kita rugi. Kalau ada ketua NU jadi bupati itu boleh. Tapi dia sudah macet di situ. Jadi birokrat, dia macet. Lain halnya kalau ketua NU membuat kader yang militan betul dan komitmen terhadap NU, itu lain. Bisa diperintah.
Ketua NU yang jadi bupati, kan masih bisa diperintah oleh Rais Syuriahnya?
Ya, tidak bisa. Sudah jadi bupati kok diperintah Rais Syuriah, itu dari mana? Kan bukan pada tempatnya? Ngapain Syuriah ikut-ikut?
Kiai punya himbauan kepada warga NU ketika mereka menghadapi Pilkada?
Himbauan saya, hendaknya semua warga NU di masing-masing daerah itu kompak dalam menunjuk siapa calon bupati maupun pimpinan daerah. Tapi tidak mencalonkan. Salah, kalau dia mencalonkan, bukan pada tempatnya. Tapi harus ada kesepakatan.
Kalau mereka bilang tidak mencalonkan, tapi dicalonkan?
Sebenarnya kan tidak ada itu dicalonkan secara murni. Jujur sajalah, orang dicalonkan itu sebenarnya ya minta dicalonkan. Seribu satulah kalau ada itu.
Kalau beralasan ingin mengabdi pada ruang yang lebih besar, tidak hanya di lingkungan NU?
Itu omongnya. Tapi kenyataannya tidak ada. Malah hilang NU-nya.
Kiai, kenapa sih gairah politik orang NU itu selalu tinggi sampai sekarang?
Karena kembali ke khittah itu belum bisa disosialisasikan secara benar sejak dulu. Masih terdapat kekurangan, dan kekurangan ini sulit ditutupi, karena sudah terlanjur lama. Ambisi seseorang untuk berpolitik itu juga banyak sekali. Katakan sajalah - mohon maaf ini - masak ulama-ulama itu ada kasus di PKB tidak bisa memperbaiki, kok lalu bikin PKNU. Politik cap apa ini? Coba. Ini namanya orang tidak bisa menyelesaikan yang satu malah bikin lagi dua (masalah). Politik model apa ini? Kalau melihat rakyat seperti ini....Bukan hanya rakyat, kiainya juga banyak..he.. .he...he. ..
Lalu langkah kita bagaimana?
Sulit. Paling kita harus berani mengatakan dimana-dimana bahwa keuntungan sikap netral itu masih lebih banyak daripada sikap tidak netral. Ini kita berbicara kiai, kaena rakyat di bawah itu sebenarnya tidak ada masalah. Ketika seseorang itu sudah aktif di politik, kalau sudah mendapatkan posisi, itu sudah la salam wala kalam. Dimana-mana itu. Saya sendiri mengalami itu. Kalau sudah begini, siapa yang bisa diharapkan.
Kiai percaya kalau orang terjun ke politik itu karena berjuang?
Salah satu. Tetapi praktiknya banyak yang belum tepat. Tapi bahwa politik itu salah satu aspek perjuangan, iya. Dan yang paling fatal itu sekarang masyarakat bawah itu setiap pemilu enggan memilih, kecuali diberi uang. Jadi, dia memilih karena uang, bukan karena demokrasi.
Bukankah ini juga salah NU yang menganggap pemilu tidak penting, lalu membebaskan warganya untuk menyoblos atau tidak?
NU bukan begitu. NU tetap mendorong warganya untuk memilih. Soal kepada dia memilih, bebas. Itu namanya demokrasi. Bukan kok bebas itu terserah mau memilih atau tidak. Salah itu. Fardlu kifayah, kok.
Sudah 24 tahun khitah NU digulirkan. Tapi masih saja banyak yang salah tafsir. Bagaimana menurut kiai?
Itulah Indonesia. Sulit kita itu. Karena memang yang berpikir ke arah itu baru saya sendirian. Tidak ada temannya.
Idealnya dibutuhkan waktu berapa tahu agar khitah bisa dilaksanakan secara maksimal?
Saya tidak bisa menjamin perkiraan itu secara tepat, karena sosialisasi khitah sekarang ini macet. Tidak ada lagi orang yang menangani, sementara orang tetap pada kesalahpahaman tetap berjalan terus. Kalau tidak salah paham ini bukan NU, katanya begitu.
Dalam even Harlah ini, bukankah itu kesempatan yang baik untuk memulai lagi?
Semestinya begitu. Dan saya sudah sering mengajak teman-teman, tapi tak ada yang merespon.
Agar tak terjadi kesalahpahaman lagi, mungkin perlu dibuat buku Juklak Khitah tersendiri?
Sudah ada. Yang tertulis juga sudah ada.
Jadi mereka itu memang tidak paham atau pura-pura tidak paham?
Tidak paham saya kalau itu, tidak paham atau tidak mau paham. Karena sudah terlanjur ada kesenangan lain. Tidak tega dengan partai dan politik itu.
Konsep Kiai Sahal hingga bisa teguh bertahan?
Saya hanya punya satu prinsip, saya tetap meyakini jalan khitah itu adalah yang terbaik bagi NU. Saya juga punya pengalaman ketika NU menjadi partai, 1955 misalnya. Itu saya sudah aktif di NU. Kemudian ada massa mengambang, partai NU dilebur di PPP, itu saya juga di PPP. Pengalaman-pengalaman itu semuanya tidak ada yang menguntungkan. Kita
harus kembali seperti semula, ketika NU belum jadi partai. Ketika jadi partai pun NU tidak ada artinya. Dulu itu hitungannya NU hebat, itu kan kalau yang duduk di legislatif banyak, NU menang. Cuma itu, kok. Bukan substansi masalah.
Semua yang tengah bermain politik itu juga mengaku sesuai keputusan khitah. Tapi kok bisa beda-beda?
Iya, tapi mereka tidak tahu khitah itu apa. Iming-iming semua itu kan bohong saja. Saya yakin semua iming-iming itu bohong. Namanya juga iming-iming. Kalau ada pilkada di Jawa Tengah seperti sekarang, semua calon datang kesini. Yang non-muslim juga datang kesini. Saya terima semua.
Harusnya posisi NU seperti itu?
Iya.
Kiai, apa tidak eman-eman kalau massa NU yang begitu banyak itu dibiarkan mengambang?
Lha, nanti kapan dewasanya warga NU. Kita ini kan ingin mendewasakan warga NU. Tapi warganya sendiri tidak sadar supaya mereka cepat dewasa. Yang aktif dalam politik itu kan malah mengerdilkan diri sendiri.(dikutip dari Majalah Aula PWNU Jatim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar