Diantara para ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj kebagian tugas untuk pengembangan organisasi dan SDM. Untuk itu ia membidangi Lakpesdam, LTN NU, dan LKKNU. Berikut ini program yang akan dikembangkan dalam upaya untuk memberdayakan NU lewat lajnah dan lembaga tersebut. Dalam wawancara dengan reporter NU Online juga terungkap bagaimana upaya dalam reaktualisasi makna ahlusunnah wal jamaah yang menjadi warga NU. Berikut ini hasil wawancaranya
Sebagai salah satu ketua yang dipercaya mengelola Lakpesdam, Lajnah Taklif wan Nasr (LTN NU) dan Lembaga Kesejahteraan Keluarga NU (LKKNU), apa yang akan Bapak lakukan untuk mengembangkannya?
Saya dipercaya untuk mengelola tiga lembaga tersebut, beberapa ide yang muncul dibenak saya adalah pertama, bagaimana kita ini memiliki kader nahdliyyin memiliki prinsip agama kuat dan memiliki keahlian serta ilmu pengetahuan. Dalam berorganisasi yang penting ikhas dulu, saya yakin tuhan tidak akan membiarkan orang yang aktif dalam masyarakat akan merana.
Kedua saya ingin program yang sudah dilaksanakan Lakpesdam berupa pelatihan calon kyai terus dilaksanakan agar kyai ke depan mampu menghadapi tantangan dengan tidak mengabaikan agama dan moral. Ada prinsip baku yang tak boleh kita geser, tetapi terdapat hal-hal yang harus diaktualisasikan secara terus menerus, kita harus melakukannya.
Kita menginginkan perpaduan seperti yang ada di Mesir atau Saudi. Seorang ulama yang mengerti ekonomi, bahasa Inggris, dan lainnya. Atau seorang dokter yang mengerti Qur’an walaupun dangkal saja, mengerti sejarah perjuangan nabi dan lainnya, walaupun dia berpendidikan umum atau aktifitas kesehariannya tidak dalam bidang agama.
Terdapat dua hal yang tidak kita diinginkan, satu liberal dan satu ekstrim. Dua-duanya tidak berguna dan tidak manfaat. Yang ekstrim akan menjadi bumerang karena Islam tidak mengajarkan kekerasan, tetapi mengajarkan sesuatu yang santun dan lemah lembut.
Yang liberal juga memberi mudharat. Revitalisasi penting, rekonstruksi penting tapi ada wilayahnya sendiri-sendiri dan itu sangat luas. Tolong ketentuan baku dalam Qur’an yang hanya lima persen jangan diungkit-ungkit, yang sudah qot’i yang sudah disepakati. Itu berarti kita taqlid kepada para ulama dahulu? Ya memang demikian, NU taklid kepada para ulama, harus menjaga orisinilitas dan mata rantai geonologi.
Kita ikut Imam Syafii atau Maliki, tapi bukan berarti taklid yang membabi buta, kita juga mengembangkannya, tetapi pada prinsipnya hidup ini mengikuti pendahulu kita, yang paling atas Nabi Muhammad, kemudian para sahabat, tabi’in dan seterusnya, termasuk imam empat.
Liberal, Islam rugi, ekstrim, jumud juga merugikan. Jadi Lakpesdam diharapkan dapat menindaklanjuti yang dulu yaitu PPWK (Program Pengembangan Wawasan Keulamaan). Potensi kyai muda NU luar biasa, tetapi masih terbatas dalam bidang fikih. Yang ada baru qoriul (membaca) qur’an, qoriul fikh, pembaca saja. Yang kita harapkan dia juga menjadi ahli, mampu mengaktualisasikan dirinya sehingga menjadi mufassir dengan ilmu yang sudah didapatinya itu, tentu saja dengan tidak ngawur.
Kita ingin menjadi mufassir kecil-kecilan setelah mengaji tafsir, kita ingin menjadi ahli fikih setelah mengaji fikih, pandai membaca, kita sudah berhenti disitu, hanya pembaca kitab, ini yang kita sayangkan.
Sebaliknya, di IAIN ada juga yang pandai, ngomongnya bagus, tulisannya bagus e… setelah ketemu minim sekali ilmunya. Kalau melihat tulisnnya kayak ilmunya luas. Saya sering ketemu orang seperti itu. Perbendaharaan ilmunya minim, padahal banyak diantara mereka yang bergelar profesor dan doctor.
Bagaimana kebijakan tentang LTN NU?
Antara lain, LTN minimal bisa menerbitkan 4 atau 6 buku, itu harus, baik terjemahan maupun karangan sendiri, kecil atau besar itu harus. Ini untuk mengawal pemikiran, kalau tidak waduh… yang muda liberal sedangkan yang tua ekstrim. Antara yang tua dan muda perlu ada jembatan.
Banyak aspek tentang keberhasilan seperti SDM, pendanaan, manajemen dan lainnya?
Kalau masalah pendanaan akan kita cari,…insyaallah dapat. Kalau SDM kita sudah siap, tinggal menindaklanjuti, tenaga tutor atau narasumber banyak sekali. KH Sahal Mahfudz, KH Makruf Amin, dan lainnya, mereka orang tua yang memiliki visi sosial. Yang muda-muda ada pak Masdar, banyaklah. Ada juga Amin Abdullah, Komaruddin Hidayat, walaupun bukan NU, dan kita beri batasan dan cakupan yang jelas, yang saya inginkan tidak liberal dan ekstrim.
Bagaimana mekanisme kontral terhadap program yang dijalankan?
Kan ada pertanggung jawaban di rapat pleno dan setiap bulan kita (NU Online)
Minggu, 17 Januari 2010
KH. Mustofa Bisri : Masih banyak kiai yang tak suka politik
Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri atau lebih akrab disapa Gus Mus merupakan pengagas pertemuan para kiai yang diselenggarakan di berbagai daerah. Apa sebenarnya tujuan dari pertemuan ini, lalu apa hubungannya dengan fenomena kiai yang belakangan mulai terjun dalam politik praktis. Berikut ini wawancara dengan NU Online dalam acara launching Majalah MataAir beberapa waktu lalu.
Gus Mus beberapa kali telah menggagas pertemuan-kiai-kiai NU di berbagai daerah, sebenarnya apa tujuan dari pertemuan para kiai tersebut?
Jadi, kiai-kiai itu resah melihat banyaknya kiai yang berpolitik. Dengan adanya pertemuan ini mereka lego, masih ada kiai-kiai yang tidak mengurusi politik ini salah satunya. Kemudian pemikiran-pemikiran yang dari bawah, asal usulnya bermula dari keinginan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz sejak muktamar NU di Donohudan minta dibantu, khususnya syuriyah. Maka kita mengadakan lajnah fukhus an nahdliyyah untuk menyerap aspirasi, pemikiran yang nantinya disampaikan ke PBNU untuk ditindaklanjuti karena ini sifatnya kan hanya pemikiran, bukan action. Mestinya PBNU yang melaksanakan ini, tapi kan kerjaannya banyak, ya urusan luar negeri, ya urusan macem-macemlah.
Urusan kekiaian ini kan hanya membantu dengan pemikiran, menyampaikan aspirasi masyarakat. Ini kita titipkan ke syuriyah, fikiran kiai-kiai di bawah. Selanjutnya PBNU yang menindaklanjuti untuk kerja nyatanya. Mereka ini orang NU semua, tidak ada orang luar.
Ada keresahan pada kiai yang berpolitik, sebenarnya apa yang salah dengan kiai yang berpolitik?
Tidak ada apa-apa, cuma banyak masyarakat yang suka politik, tapi banyak juga yang tidak suka. Mereka yang tidak suka politik merasa tidak dikancani kiai. Lalu muncul kiai yang menyatakan seperti itu masih ada, jangan khawatir, kamu tidak suka politik. Ada kiai yang masih mengurusi dzikir dan sebagainya.
Kiai yang berpolitik ini perlu apa tidak?
Ya lihat-lihat politiknya. Yang selama ini kiai-kiai lakukan pada zaman dahulu ada tiga. Politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Nah politik kebangsaan ini seperti yang dilakukan oleh Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari ketika mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah, ini politik untuk Indonesia, politik kebangsaan. Mengangkat Bung Karno sebagai wali ad dhoruri bis syaukah, itu politik kebangsaan.
Politik kerakyatan itu paling rajin kiai-kiai melakukan, yaitu melakukan pembelaan kepada rakyat. Ketika rakyat berhadapan dengan penguasa, dengan pengusaha, maka rakyat larinya ke kiai. Mereka yang mbelani.
Ketiga politik kekuasaan, lha politik yang ini sebetulnya banyak menguras energi dan tak karuan juntrungnya. Karena kalau politik kekuasaan, mestinya harus ada perencanaan yang matang bagaimana nanti kalau berkuasa. Bukan hanya memikirkan politik tapi tanpa melakukan perencanaan yang matang, nanti itu kalau sudah kuasa mau apa? Jangan-jangan kalau kita sudah kuasa seperti zaman Gus Dur. Sendirian Gus Dur karena yang siap berkuasa Cuma Gus Dur. Mestinya semuanya harus siap kalau memang mau berpolitik kekuasaan.
Kalau berfikir bikin partai biar kecil asal baik, tidak ada itu, ini majelis taklim. Kalau partai politik yang harus besar wong partai-partai besar saja berkoalisi kok, itu apa artinya. Dulu zaman orde baru, PDI dan PPP tidak ada artinya sama sekali, karena apa, karena kecil. Orang-orang kita itu, kalau bicara soal partai, soal politik, itu jangkauannya hanya sebatas menjadi anggota legislatif, tak lebih, itu ngapain, ya cari kerja saja.
Kalau berpartai harus besar, apa perlu melakukan konsensus bersama antar komunitas nahdliyyin menyatukan visi?
Sebelum orang-orang NU mau bikin PKB, saya sudah nulis di Jawa Pos dan tulisan saya dijadikan edaran oleh PBNU, kalau mau dilihat di PBNU masih ada dokumentasinya, bahwa harus ada rembukan bersama, kalau keluar, partainya harus satu, itu jelas. Kalau seperti sekarang, semakin banyak semakin kecil, ndak ada artinya.
Di satu sisi NU memegang khittah dalam arti tidak berpolitik, tapi di sisi lain kan diperlukan wadah untuk menyalurkan aspirasi politik?
Makanya, menurut saya ya itu yang selama ini digeluti, politik kebangsaan dan politik kerakyatan. NU mbelani rakyat itu sudah luar biasa. Umumnya orang NU itu petani di desa-desa, sekarang petani paling tidak karuan hidupnya, Kalau sekarang harga pupuk mahal, siapa yang menyuarakan aspirasi mereka kalau tidak kiai. Jadi politik kebangsaan dan politik kerakyatan ini yang perlu dijangkau, jadi politik kekuasaan ya biarkan mereka yang memang tahu dan suka, jangan seluruhnya.
Jadi keberadaan PKB dan hubungannya dengan NU bagaimana, kelahirannya kan difasilitasi oleh PBNU?
Ya, orang-orang NU, bukan PBNU. Gak ada kaitannya dengan PBNU, orang-orang NU yang tidak tahu politik dibikin tahu politik, dan yang saya tulis itu tidak dibaca atau apa. Dulu saya menekankan, kalau partai politik satu, insyaallah signifikan. Saya menekankan beberapa butir, salah satunya partai politik harus satu untuk wadahnya orang NU.
Kalau banyak kiai di daerah yang dimanfaatkan untuk kepentingan Pilkada ini bagaimana?
Pertama karena alamnya begitu, kedua karena pinternya yang memanfaatkan,. Ngak tahu pinternya yang memanfaatkan atau tidak ngertinya yang dimanfaatkan, apa saling memanfaatkan, wallahu a’lam. Tapi menurut saya nyucuk apa enggak, gitu, nyucuk apa enggak. Jadi misalnya kita dimanfaatkan oleh politisi-politisi, kita imbalannya nyucuk apa enggak. Kalau tidak nyucuk, termasuk tsamanan kolila, mansus itu, tidak boleh, kalau tsamanan katsiro itu masbuk.
Dalam kondisi seperti ini apa yang harus diperbuat oleh PBNU?
Harus tampil, ini termasuk dalam pertemuan-pertemuan kiai, NU harus berfikir, ini gawean saya, bukan kerjaan kamu, begitu lho. Harus tampil, masak suara NU kok kalah dengan suara FPI, kan dha lucu. PBNU harus tampil, sebagai mayoritas, sebagai yang terbesar, sebagai pelopor dalam segala hal, jangan orang lain lebih. Kalau menurut saya, pembelaan kepada rakyat harus di depan. Moral politik, NU yang memberikan, tidak berpolitik tapi memberikan etika-etika berpolitik. Ini harus terus diberitahukan tentang kemanfaatan begini ini. Mestinya PBNU yang mengarahkan dalam hal ini, begini-begini. (mkf NU Online)
Gus Mus beberapa kali telah menggagas pertemuan-kiai-kiai NU di berbagai daerah, sebenarnya apa tujuan dari pertemuan para kiai tersebut?
Jadi, kiai-kiai itu resah melihat banyaknya kiai yang berpolitik. Dengan adanya pertemuan ini mereka lego, masih ada kiai-kiai yang tidak mengurusi politik ini salah satunya. Kemudian pemikiran-pemikiran yang dari bawah, asal usulnya bermula dari keinginan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz sejak muktamar NU di Donohudan minta dibantu, khususnya syuriyah. Maka kita mengadakan lajnah fukhus an nahdliyyah untuk menyerap aspirasi, pemikiran yang nantinya disampaikan ke PBNU untuk ditindaklanjuti karena ini sifatnya kan hanya pemikiran, bukan action. Mestinya PBNU yang melaksanakan ini, tapi kan kerjaannya banyak, ya urusan luar negeri, ya urusan macem-macemlah.
Urusan kekiaian ini kan hanya membantu dengan pemikiran, menyampaikan aspirasi masyarakat. Ini kita titipkan ke syuriyah, fikiran kiai-kiai di bawah. Selanjutnya PBNU yang menindaklanjuti untuk kerja nyatanya. Mereka ini orang NU semua, tidak ada orang luar.
Ada keresahan pada kiai yang berpolitik, sebenarnya apa yang salah dengan kiai yang berpolitik?
Tidak ada apa-apa, cuma banyak masyarakat yang suka politik, tapi banyak juga yang tidak suka. Mereka yang tidak suka politik merasa tidak dikancani kiai. Lalu muncul kiai yang menyatakan seperti itu masih ada, jangan khawatir, kamu tidak suka politik. Ada kiai yang masih mengurusi dzikir dan sebagainya.
Kiai yang berpolitik ini perlu apa tidak?
Ya lihat-lihat politiknya. Yang selama ini kiai-kiai lakukan pada zaman dahulu ada tiga. Politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Nah politik kebangsaan ini seperti yang dilakukan oleh Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari ketika mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah, ini politik untuk Indonesia, politik kebangsaan. Mengangkat Bung Karno sebagai wali ad dhoruri bis syaukah, itu politik kebangsaan.
Politik kerakyatan itu paling rajin kiai-kiai melakukan, yaitu melakukan pembelaan kepada rakyat. Ketika rakyat berhadapan dengan penguasa, dengan pengusaha, maka rakyat larinya ke kiai. Mereka yang mbelani.
Ketiga politik kekuasaan, lha politik yang ini sebetulnya banyak menguras energi dan tak karuan juntrungnya. Karena kalau politik kekuasaan, mestinya harus ada perencanaan yang matang bagaimana nanti kalau berkuasa. Bukan hanya memikirkan politik tapi tanpa melakukan perencanaan yang matang, nanti itu kalau sudah kuasa mau apa? Jangan-jangan kalau kita sudah kuasa seperti zaman Gus Dur. Sendirian Gus Dur karena yang siap berkuasa Cuma Gus Dur. Mestinya semuanya harus siap kalau memang mau berpolitik kekuasaan.
Kalau berfikir bikin partai biar kecil asal baik, tidak ada itu, ini majelis taklim. Kalau partai politik yang harus besar wong partai-partai besar saja berkoalisi kok, itu apa artinya. Dulu zaman orde baru, PDI dan PPP tidak ada artinya sama sekali, karena apa, karena kecil. Orang-orang kita itu, kalau bicara soal partai, soal politik, itu jangkauannya hanya sebatas menjadi anggota legislatif, tak lebih, itu ngapain, ya cari kerja saja.
Kalau berpartai harus besar, apa perlu melakukan konsensus bersama antar komunitas nahdliyyin menyatukan visi?
Sebelum orang-orang NU mau bikin PKB, saya sudah nulis di Jawa Pos dan tulisan saya dijadikan edaran oleh PBNU, kalau mau dilihat di PBNU masih ada dokumentasinya, bahwa harus ada rembukan bersama, kalau keluar, partainya harus satu, itu jelas. Kalau seperti sekarang, semakin banyak semakin kecil, ndak ada artinya.
Di satu sisi NU memegang khittah dalam arti tidak berpolitik, tapi di sisi lain kan diperlukan wadah untuk menyalurkan aspirasi politik?
Makanya, menurut saya ya itu yang selama ini digeluti, politik kebangsaan dan politik kerakyatan. NU mbelani rakyat itu sudah luar biasa. Umumnya orang NU itu petani di desa-desa, sekarang petani paling tidak karuan hidupnya, Kalau sekarang harga pupuk mahal, siapa yang menyuarakan aspirasi mereka kalau tidak kiai. Jadi politik kebangsaan dan politik kerakyatan ini yang perlu dijangkau, jadi politik kekuasaan ya biarkan mereka yang memang tahu dan suka, jangan seluruhnya.
Jadi keberadaan PKB dan hubungannya dengan NU bagaimana, kelahirannya kan difasilitasi oleh PBNU?
Ya, orang-orang NU, bukan PBNU. Gak ada kaitannya dengan PBNU, orang-orang NU yang tidak tahu politik dibikin tahu politik, dan yang saya tulis itu tidak dibaca atau apa. Dulu saya menekankan, kalau partai politik satu, insyaallah signifikan. Saya menekankan beberapa butir, salah satunya partai politik harus satu untuk wadahnya orang NU.
Kalau banyak kiai di daerah yang dimanfaatkan untuk kepentingan Pilkada ini bagaimana?
Pertama karena alamnya begitu, kedua karena pinternya yang memanfaatkan,. Ngak tahu pinternya yang memanfaatkan atau tidak ngertinya yang dimanfaatkan, apa saling memanfaatkan, wallahu a’lam. Tapi menurut saya nyucuk apa enggak, gitu, nyucuk apa enggak. Jadi misalnya kita dimanfaatkan oleh politisi-politisi, kita imbalannya nyucuk apa enggak. Kalau tidak nyucuk, termasuk tsamanan kolila, mansus itu, tidak boleh, kalau tsamanan katsiro itu masbuk.
Dalam kondisi seperti ini apa yang harus diperbuat oleh PBNU?
Harus tampil, ini termasuk dalam pertemuan-pertemuan kiai, NU harus berfikir, ini gawean saya, bukan kerjaan kamu, begitu lho. Harus tampil, masak suara NU kok kalah dengan suara FPI, kan dha lucu. PBNU harus tampil, sebagai mayoritas, sebagai yang terbesar, sebagai pelopor dalam segala hal, jangan orang lain lebih. Kalau menurut saya, pembelaan kepada rakyat harus di depan. Moral politik, NU yang memberikan, tidak berpolitik tapi memberikan etika-etika berpolitik. Ini harus terus diberitahukan tentang kemanfaatan begini ini. Mestinya PBNU yang mengarahkan dalam hal ini, begini-begini. (mkf NU Online)
Hj. Khofifah Indar Parawansa : Perlu sinergi diantara kekuatan perempuan NU
Peran dan gerakan perempuan belakangan ini semakin berkembang, namun diantara mereka sendiri banyak terdapat perbedaan konsep tentang bagaimana perempuan yang seharusnya sehingga mereka berbeda pandangan mensikapi kasus aborsi, pornografi kebebasan dan lainnya. Dilingkungan NU, terdapat tiga badan otonom perempuan untuk mewadahi beberapa kelompok. Bagaimana upaya dan kerjasama yang harus dijalankan baik antar ormas perempuan maupun antar badan otonom perempuan NU, berikut ini wawancara dari NU Online dengan Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa seusai menerima Pimpinan Perempuan Hizbullah Afaf Al Hakim di Gd. PBNU awal Desember lalu.
Gimana arah gerakan organisasi-organisasi perempuan?
Aku melihatnya positif saja keberadaan berbagai organisasi perempuan, tetapi yang sekarang perlu dilihat adalah kemampuan sinergi, apapun levelnya, berapapun anggotanya, apapun programnya. Menurut saya, sekarang yang harus dikonsolidir adalah sinergi. Misalnya kalau organisasi Islam ada di BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia), tapi itu kayaknya konfederasi saja, seperti Kowani, kan konfederasi.
Jadi itu belum menjadi forum sinergi diantara kekuatan organisasi wanita atau perempuan atau ormas atau apapun. Kan macam-macam, Kowani kan sudah 76, BMOIWI mungkin 37 organisasi, tetapi itu belum menjadi media sinergi diantara kekuatan organisasi perempuan. Nah apa yang harus dilakukan kalau ada sinergi, ya kita harus melakukan pemetaan bersama, oo.. disana, tingkat kematian perempuan masih tinggi, siapa sih yang masih bisa involve, disana angka buta aksara masih tinggi, siapa yang bisa nangani disana, oo disana itu yang punya potensi, tetapi sumber finansialnya kecil, mereka perlu capacity building, mereka perlu dukungan, modal.
Pemetaan ini yang penting tanpa harus menunggu siapa-siapa. Maksud saya nga usah menunggu pemerintah, nga usah menunggu sopo-sopo, organisasi itu kalau secara mandiri bisa berbagi peran, ya, meskipun tidak semuanya ada yang akan bisa diselesaikan. Masing-masing organisasi saat ini kan sudah bekerja, tetapi kerjasama ini kan sifatnya masih seremoni-seremoni, belum pada kerjasama yang sinergis dan strategis, belum seperti itu.
Kalau kerjasama diantara organisasi perempuan NU sendiri gimana?
Ternyata tidak sederhana, dulu awal saya jadi ketua umum, paling tidak kalau dalam struktur NU, Muslimat paling senior gitu, meskipun dari sisi umum sejak saya jadi ketua Muslimat masih lebih muda daripada ketua Fatayat. Lha aku yo ora ngerti Fatayat dituakan umurnya, lalu dituakan lagi. Jadi meskipun saya terpilh lagi, tetap lebih muda daripada Fatayat. Tapi saya mau melihat pada struktur ke-NU-annya bahwa Muslimat lebih senior. Saya mengkomunikasikan bagaimana program ini bisa kerja bareng, ternyata nga mudah. Saya tidak tahu kenapa waktu itu, kemudian ada saja yang menjadikan kita tak bisa melanjutkan kerja bareng itu. Saya berharap ini bisa dimediasi oleh PBNU karena Muslimat, Fatayat dan IPPNU itu setara dihadapan PBNU. Hanya saja kalau dilihat dari kelahiran dan usianya, Muslimat kan paling tua, gitu kan, tetapi bahwa posisinya dihadapan NU sama, tidak ada yang lebih senior, tidak ada yang lebih dominan.
Makanya perlu mediasi PBNU untuk mensinergikan diantara seluruh kekuatan badan otonom. Ini antara lain yang saya beberapa kali sempat menyampaikan kepada para pengurus PBNU. Jadi menurut saya, wong namanya berproses, masing-masing juga mengalami dinamika, jadi maksimalisasi dari peran banom, lembaga dan lanjah itu antara lain butuh endorsement. Namun, kayaknya 99.9 persen masih jalan sendiri-sendiri.
Pertemuan untuk bisa mensinergikan lembaga, lajnah dan banom itu belum tentu enam bulan sekali, belum tentu setahun sekali, coba. Ini kan harus ada forum yang mengkomunikasikan, bahkan saya ingin ada rasingram atau rapat sinkronisasi program. Rasingram ini penting supaya lembag-lembaga di NU melaksanakan program seperti yang dilaksanakan badan otonom, itu akan overlap. Ya sebetulnya masing-masing ingin memaksimalkan fungsi, tetapi bahwa kalau kita itu ada rasingram dan tidak, itu rasanya beda. Misalnya mau disinkronisasikan dengan rapat pleno PBNU, itu terlalu banyak agenda, itu khusus rasingram tok. Kalau nurut aku, kita memang harus menyediakan waktu barang dua hari untuk sinkronisasi program, kalau tidak ya malam, berapa malam, pagi sampai sore beraktifitas, terus malam ngumpul, rasingram. Jadi pemetaannya jelas, jadi apa yang dilakukan oleh lembaga, lajnah dan banom itu termonitor dan progresnya diketahui PBNU.
Terkait dengan gerakan perempuan di NU belum memiliki visi yang sama?
Tak harus disamakan, nek aku Muslimat disamakan dengan IPPNU kan lucu, ya pasti beda. Muslimat lebih banyak pada layanan, kalau Fatayat lebih pada advokasi, kalau IPPNU pada fasilitasi karena ia organisasi kader, bukan ormas, pasti beda. Tapi bahwa perlu ada sinergi diantara kekuatan perempuan NU, sinergi diantara banom, sinergi diantara lembaga. Makanya saya selalu mendorong HIDMAT atau himpunan daiyah muslimat untuk selalu sinergi dengan LDNU. Ini terus menerus saya ingatkan begitu, tak boleh menunggu siapa-siapa untuk memediasi. Memang pimpinan Hidmat harus proaktif ketemu dengan pimpinan LDNU, bikinlah program baru.
Pandangan tentang Gerakan feminisme ini gimana Mbak?
Tergantung, feminis apa, kan ada yang sosialis, liberal ada yang konservatif. Jadi saya rasa kalau kaum feminis terkait dengan memaksimalkan peran perempuan its ok, tetapi kalau sudah melampuai batas-batas, saya tetap berada dalam barikade norma, barikade nilai. Kalau ormas Islam ya barikade syar’i. Itu tetap dijadikan pagar. Kalau kita sudah keluar dari norma, kita sendiri mereduksi makna kemanusiaan kita. Misalnya begini, yang atas nama women right, kemudian mereka single parent, pokoknya saya mau beli sperma, saya nga mau suami, ia bilang soal haknya dia, tapi hak anak gimana, ini sudah keluar dari norma.
Nah, sekarang kelompok yang atas nama women right, atas nama reproductive right, lalu mereka mencoba untuk melakukan legal aborsion, kalau Islam sudah keluar dari syariah. Lha kalau yang seperti itu harus dipagari, aborsi boleh, pada tataran ketika janin itu mengganggu keselamatan itu. Eksepsi-eksepsi seperti itu harus dibuat sesuai dengan aturan, ada aturan agama, norma, susila. Saya terserah mau dibilang sok moralis, sok apa-sok apa, tetapi itulah yang membedakan manusia dan yang tidak manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan itu sendiri.
Diantara mereka ada yang memang women libs, gitu. mereka yang berusaha melaksanakan hak perempuan sebebas-bebasnya saya tidak bisa seperti itu. Norma-norma itulah yang menjadikan ada peradaban, budaya. Jadi yang tidak dimiliki dia, yang bukan manusia.
Beberapa aktifitis perempuan Islam sendiri juga menentang poligami, menentang RUU APP, mendukung aborsi, ini sebenarnya gimana, mereka kan berlatar belakang Islam?
Itu masuk kategori women liberation, kalau sudah keluar dari norma-norma, ya harus dikembalikan pada makna kemanusiaan itu sendiri, makna peradaban itu sendiri. Ketika mereka bercerita tentang masyarakat madani, masyarakat mutamaddin, gimana kemudian peradaban itu akan mereka tempatkan, gimana martabat manusia itu akan mereka tempatkan, tidak bisa atas nama hak-hak reproduksi, lalu semuanya dilakukan semau-maunya kan, jadi ada pola-pola regulasi.
Saya rasa, saya dalam beberapa hal dianggap orang konservatif. Bagi saya manusia harus dibedakan dengan yang bukan manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan atas nama kebebasan tanpa batas, jadi bagi saya menempatkan perempuan sebagai ibu utama dan pertama itu menjadi penting. Menempatkan perempuan sebagai bagian dari penerus budaya, penerus peradaban itu menjadi penting. Kalau ada pola-pola yang kita tahu menerabas dan itu dibiarkan, merusak peradaban manusia itu sendiri, juga dilestarikan, ya saya berbeda dengan mereka.
Terus interaksi antara laki-laki dan perempuan gimana mbak?
Saya rasa hubungannya fungsional saja, ya struktural fungsional, apalagi memang, kalau ini pada posisi sesuai dengan profesinya masing-masing, memang kenapa, perempuan harus jadi laki-laki atau sebaliknya, tidak seperti itu.
Kan ada kesetaraan dalam keluarga?
Sekarang begini, ada saatnya suaminya sakit, yang cari uang istrinya, ada suami pemabuk, tukang judi, pantas tidak dia menjadi kepala keluarga. Ayolah dilihat persoalan yang muncul dalam masyarakat kita. Jadi menurut saya bagaimana dibangun kesetaraan dalam posisi mutual understanding. Ya mereka harus memahami posisi masing-masing, tidak harus memaksakan. Mbok meskipun suaminya penjudi, peminum, pemakai narkoba, pokoknya dia kepala keluarga, apa keputusan yang mau diambil, yang benar saja.
Nah sekarang ini yang harus dijadikan pertimbangan untuk membangun mutual understanding bahwa sekarang kecenderungan gugat cerai tinggi sekali, “tinggi pake sekali”. Misalnya di Makassar, data tahun 2005 karena ini data yang bisa diakses untuk tahun 2007, dari dirjen Bimas Islam, 85 persen itu gugat cerai, di Jakarta ini 75 apa 80 persen, di Surabaya 80 persen, di Bandung justru 65 persen. Di Semarang 70 di Medan 75 persen, di Cilacap 80 persen, yok opo ini.
Ini karena apa?
Ada 13 items, pertama mereka merasa tidak harmonis, kenapa tidak harmonis, yang tertinggi ini ternyata suaminya poligami, kedua suaminya tidak bertanggung jawab, ketiga, persoalan ekonomi dan ke 13 persoalan beda partai. Ini yang saya apal. Ini kalau tidak ditelaah bisa berbahaya lho, menyangkut ketahanan keluarga. Janganlah bilang ketahanan nasional kalau keluarganya rentan seperti ini.
Kalau menurut aku ini problem serius, gugat cerai, kenapa tidak harmonis. Saya rasa Dirjen Bimas Islam sudah menginformasikan, tetapi tidak menggelinding, meskipun banyak media memuat. Masing-masing menurut saya harus memberikan respon supaya lalu ada refleksi dari masing-masing individu dan keluarga. Ini jangan dianggap remeh. Dan di Muslimat, ini tak omongno di berbagai tempat. Bapak-bapak jagalah keluarga, jangan cuma ibu-ibu yang disuruh jaga keluarga. (mkf NU Online)
Gimana arah gerakan organisasi-organisasi perempuan?
Aku melihatnya positif saja keberadaan berbagai organisasi perempuan, tetapi yang sekarang perlu dilihat adalah kemampuan sinergi, apapun levelnya, berapapun anggotanya, apapun programnya. Menurut saya, sekarang yang harus dikonsolidir adalah sinergi. Misalnya kalau organisasi Islam ada di BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia), tapi itu kayaknya konfederasi saja, seperti Kowani, kan konfederasi.
Jadi itu belum menjadi forum sinergi diantara kekuatan organisasi wanita atau perempuan atau ormas atau apapun. Kan macam-macam, Kowani kan sudah 76, BMOIWI mungkin 37 organisasi, tetapi itu belum menjadi media sinergi diantara kekuatan organisasi perempuan. Nah apa yang harus dilakukan kalau ada sinergi, ya kita harus melakukan pemetaan bersama, oo.. disana, tingkat kematian perempuan masih tinggi, siapa sih yang masih bisa involve, disana angka buta aksara masih tinggi, siapa yang bisa nangani disana, oo disana itu yang punya potensi, tetapi sumber finansialnya kecil, mereka perlu capacity building, mereka perlu dukungan, modal.
Pemetaan ini yang penting tanpa harus menunggu siapa-siapa. Maksud saya nga usah menunggu pemerintah, nga usah menunggu sopo-sopo, organisasi itu kalau secara mandiri bisa berbagi peran, ya, meskipun tidak semuanya ada yang akan bisa diselesaikan. Masing-masing organisasi saat ini kan sudah bekerja, tetapi kerjasama ini kan sifatnya masih seremoni-seremoni, belum pada kerjasama yang sinergis dan strategis, belum seperti itu.
Kalau kerjasama diantara organisasi perempuan NU sendiri gimana?
Ternyata tidak sederhana, dulu awal saya jadi ketua umum, paling tidak kalau dalam struktur NU, Muslimat paling senior gitu, meskipun dari sisi umum sejak saya jadi ketua Muslimat masih lebih muda daripada ketua Fatayat. Lha aku yo ora ngerti Fatayat dituakan umurnya, lalu dituakan lagi. Jadi meskipun saya terpilh lagi, tetap lebih muda daripada Fatayat. Tapi saya mau melihat pada struktur ke-NU-annya bahwa Muslimat lebih senior. Saya mengkomunikasikan bagaimana program ini bisa kerja bareng, ternyata nga mudah. Saya tidak tahu kenapa waktu itu, kemudian ada saja yang menjadikan kita tak bisa melanjutkan kerja bareng itu. Saya berharap ini bisa dimediasi oleh PBNU karena Muslimat, Fatayat dan IPPNU itu setara dihadapan PBNU. Hanya saja kalau dilihat dari kelahiran dan usianya, Muslimat kan paling tua, gitu kan, tetapi bahwa posisinya dihadapan NU sama, tidak ada yang lebih senior, tidak ada yang lebih dominan.
Makanya perlu mediasi PBNU untuk mensinergikan diantara seluruh kekuatan badan otonom. Ini antara lain yang saya beberapa kali sempat menyampaikan kepada para pengurus PBNU. Jadi menurut saya, wong namanya berproses, masing-masing juga mengalami dinamika, jadi maksimalisasi dari peran banom, lembaga dan lanjah itu antara lain butuh endorsement. Namun, kayaknya 99.9 persen masih jalan sendiri-sendiri.
Pertemuan untuk bisa mensinergikan lembaga, lajnah dan banom itu belum tentu enam bulan sekali, belum tentu setahun sekali, coba. Ini kan harus ada forum yang mengkomunikasikan, bahkan saya ingin ada rasingram atau rapat sinkronisasi program. Rasingram ini penting supaya lembag-lembaga di NU melaksanakan program seperti yang dilaksanakan badan otonom, itu akan overlap. Ya sebetulnya masing-masing ingin memaksimalkan fungsi, tetapi bahwa kalau kita itu ada rasingram dan tidak, itu rasanya beda. Misalnya mau disinkronisasikan dengan rapat pleno PBNU, itu terlalu banyak agenda, itu khusus rasingram tok. Kalau nurut aku, kita memang harus menyediakan waktu barang dua hari untuk sinkronisasi program, kalau tidak ya malam, berapa malam, pagi sampai sore beraktifitas, terus malam ngumpul, rasingram. Jadi pemetaannya jelas, jadi apa yang dilakukan oleh lembaga, lajnah dan banom itu termonitor dan progresnya diketahui PBNU.
Terkait dengan gerakan perempuan di NU belum memiliki visi yang sama?
Tak harus disamakan, nek aku Muslimat disamakan dengan IPPNU kan lucu, ya pasti beda. Muslimat lebih banyak pada layanan, kalau Fatayat lebih pada advokasi, kalau IPPNU pada fasilitasi karena ia organisasi kader, bukan ormas, pasti beda. Tapi bahwa perlu ada sinergi diantara kekuatan perempuan NU, sinergi diantara banom, sinergi diantara lembaga. Makanya saya selalu mendorong HIDMAT atau himpunan daiyah muslimat untuk selalu sinergi dengan LDNU. Ini terus menerus saya ingatkan begitu, tak boleh menunggu siapa-siapa untuk memediasi. Memang pimpinan Hidmat harus proaktif ketemu dengan pimpinan LDNU, bikinlah program baru.
Pandangan tentang Gerakan feminisme ini gimana Mbak?
Tergantung, feminis apa, kan ada yang sosialis, liberal ada yang konservatif. Jadi saya rasa kalau kaum feminis terkait dengan memaksimalkan peran perempuan its ok, tetapi kalau sudah melampuai batas-batas, saya tetap berada dalam barikade norma, barikade nilai. Kalau ormas Islam ya barikade syar’i. Itu tetap dijadikan pagar. Kalau kita sudah keluar dari norma, kita sendiri mereduksi makna kemanusiaan kita. Misalnya begini, yang atas nama women right, kemudian mereka single parent, pokoknya saya mau beli sperma, saya nga mau suami, ia bilang soal haknya dia, tapi hak anak gimana, ini sudah keluar dari norma.
Nah, sekarang kelompok yang atas nama women right, atas nama reproductive right, lalu mereka mencoba untuk melakukan legal aborsion, kalau Islam sudah keluar dari syariah. Lha kalau yang seperti itu harus dipagari, aborsi boleh, pada tataran ketika janin itu mengganggu keselamatan itu. Eksepsi-eksepsi seperti itu harus dibuat sesuai dengan aturan, ada aturan agama, norma, susila. Saya terserah mau dibilang sok moralis, sok apa-sok apa, tetapi itulah yang membedakan manusia dan yang tidak manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan itu sendiri.
Diantara mereka ada yang memang women libs, gitu. mereka yang berusaha melaksanakan hak perempuan sebebas-bebasnya saya tidak bisa seperti itu. Norma-norma itulah yang menjadikan ada peradaban, budaya. Jadi yang tidak dimiliki dia, yang bukan manusia.
Beberapa aktifitis perempuan Islam sendiri juga menentang poligami, menentang RUU APP, mendukung aborsi, ini sebenarnya gimana, mereka kan berlatar belakang Islam?
Itu masuk kategori women liberation, kalau sudah keluar dari norma-norma, ya harus dikembalikan pada makna kemanusiaan itu sendiri, makna peradaban itu sendiri. Ketika mereka bercerita tentang masyarakat madani, masyarakat mutamaddin, gimana kemudian peradaban itu akan mereka tempatkan, gimana martabat manusia itu akan mereka tempatkan, tidak bisa atas nama hak-hak reproduksi, lalu semuanya dilakukan semau-maunya kan, jadi ada pola-pola regulasi.
Saya rasa, saya dalam beberapa hal dianggap orang konservatif. Bagi saya manusia harus dibedakan dengan yang bukan manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan atas nama kebebasan tanpa batas, jadi bagi saya menempatkan perempuan sebagai ibu utama dan pertama itu menjadi penting. Menempatkan perempuan sebagai bagian dari penerus budaya, penerus peradaban itu menjadi penting. Kalau ada pola-pola yang kita tahu menerabas dan itu dibiarkan, merusak peradaban manusia itu sendiri, juga dilestarikan, ya saya berbeda dengan mereka.
Terus interaksi antara laki-laki dan perempuan gimana mbak?
Saya rasa hubungannya fungsional saja, ya struktural fungsional, apalagi memang, kalau ini pada posisi sesuai dengan profesinya masing-masing, memang kenapa, perempuan harus jadi laki-laki atau sebaliknya, tidak seperti itu.
Kan ada kesetaraan dalam keluarga?
Sekarang begini, ada saatnya suaminya sakit, yang cari uang istrinya, ada suami pemabuk, tukang judi, pantas tidak dia menjadi kepala keluarga. Ayolah dilihat persoalan yang muncul dalam masyarakat kita. Jadi menurut saya bagaimana dibangun kesetaraan dalam posisi mutual understanding. Ya mereka harus memahami posisi masing-masing, tidak harus memaksakan. Mbok meskipun suaminya penjudi, peminum, pemakai narkoba, pokoknya dia kepala keluarga, apa keputusan yang mau diambil, yang benar saja.
Nah sekarang ini yang harus dijadikan pertimbangan untuk membangun mutual understanding bahwa sekarang kecenderungan gugat cerai tinggi sekali, “tinggi pake sekali”. Misalnya di Makassar, data tahun 2005 karena ini data yang bisa diakses untuk tahun 2007, dari dirjen Bimas Islam, 85 persen itu gugat cerai, di Jakarta ini 75 apa 80 persen, di Surabaya 80 persen, di Bandung justru 65 persen. Di Semarang 70 di Medan 75 persen, di Cilacap 80 persen, yok opo ini.
Ini karena apa?
Ada 13 items, pertama mereka merasa tidak harmonis, kenapa tidak harmonis, yang tertinggi ini ternyata suaminya poligami, kedua suaminya tidak bertanggung jawab, ketiga, persoalan ekonomi dan ke 13 persoalan beda partai. Ini yang saya apal. Ini kalau tidak ditelaah bisa berbahaya lho, menyangkut ketahanan keluarga. Janganlah bilang ketahanan nasional kalau keluarganya rentan seperti ini.
Kalau menurut aku ini problem serius, gugat cerai, kenapa tidak harmonis. Saya rasa Dirjen Bimas Islam sudah menginformasikan, tetapi tidak menggelinding, meskipun banyak media memuat. Masing-masing menurut saya harus memberikan respon supaya lalu ada refleksi dari masing-masing individu dan keluarga. Ini jangan dianggap remeh. Dan di Muslimat, ini tak omongno di berbagai tempat. Bapak-bapak jagalah keluarga, jangan cuma ibu-ibu yang disuruh jaga keluarga. (mkf NU Online)
KH. Said Aqil Sirajd: Paham kebangsaan adalah prinsip
Wawancara Bersama Rais PBNU Prof Dr Said Agil Siradj
T : Bagaimana review bapak terhadap peran NU dari lahir hingga hari ini ?
J : NU sejak dilahirkan masih berupa forum tafsirul afkar tahun 1914 di Surabaya memang membawa misi yang sangat mulia, mengintegralkan antara nilai universal Islam dengan budaya. Menghindari benturan antara agama dan budaya, pokoknya memahami Islam secara prinsipil, tak bisa ditawar-tawar, tapi selain yang prinsip, disitulah wilayah kita berkreasi, berupaya menemukan format yang pas, yang menarik NU itu sejak dulu sampai sekarang, kalau memegang prinsip solid, tapi kalau sudah dalam tataran aplikasinya di tengah masyarakat, masih belum solid sebagai jam’iyyah, kalau pegang pola pikir yang mendasar, prinsip, itu kita solid. Tapi bicara politik, ekonomi, budaya, sistem pendidikan masih belum satu.
T : Kira-kira faktornya apa ?
J : Faktornya budaya pesantren yang diatur oleh otoritas kyai sehingga membentuk masyarakat yang komunalisme. Jadi, kyai itu bagaimanapun walaupun kyai ngga masuk dalam struktur NU, dia itu lebih dominan daripada NU yang organisatoris. Jadi karena di sini NU dipahami sebagai ideologi, yah aqidah lah, sehingga masyarakat masuk NU itu nurut kyai bukan nurut pengurus NU. Lebih nurut ke kyai karena dipandang ideologinya, karena begawannya kan kyai. Makanya disitulah problem antara jamiyyah dan jamaah. Secara jamaah kita besar sekali sampai 60 juta tapi sangat lemah dalam arti belum mampu men-solidkan jamaah menjadi jamiyyah.
T : Ini kan keyakinan yang sudah cukup lama, lalu bagaimana mengatasinya ?
J : Sekarang ini dengan adanya partai-partai politik yang sudah cukup banyak dan kondisi yang sangat amburadul, banyak yang melupakan kepentingan bangsa, kita sekarang nih menampilkan agenda universal, kebangsaan, tidak bicara politik sekarang harus lebih ditekankan lagi. Kalau NU masih bicara politik, kecil sekarang partai-partai politik lagi sibuk dengan masing-masing kelompoknya. Kita bicara tentang kebangsaan jadi kita minimal sejajar dengan fungsinya TNI lah, mempertahankan kesatuan bangsa.
T : Kalau soal kebangsaan itu, sebetulnya dalam NU itu ideology yang prinsipil atau hanya siasat ?
J : Kalau bagi kita yang memahami itu prinsip, kita tahu nabi Muhammad di Madinah tidak membangun negara Islam, negara madinah, yang penduduknya ada Islam muhajirin, Ansor, Yahudi dll Nabi Muhammad sendiri mengakui lah keberadaan mereka sebagai warga negara madinah,
T : Selama ini kan ada kecenderungan bahwa sebagian orang-orangNU mulai bicara soal syariat Islam, di Banten misalnya, NU ada yang mendukung syariat Islam.
J : kalau memang mayoritas menghendaki syariat Islam, dan memahami betul bagaimana menjalankan sariat Islam, saya kira ngga apa-apa itu sebagai dasar hukum wilayah disitu, tapi kendalanya sangat besar. Orang Aceh Abubakar Ilyasa itu datang ke IAIN ke pasca Sarjana IAIN. Saya diundang, ternyata yang dibutuhkan bukan hanya hakim, kalau hakim barangkali siap, pengacara muslim seperti apa, polisi muslim seperti apa proses penyidikan Islami itu seperti apa, proses advokasi Islami itu seperti apa ? Saya rasa lebih terdorong karena emosi daripada cita-cita yang luhur. Tapi untuk nasional, tidak usah itu sudah keputusan Munas Ulama di Pondok Gede kemarin 28-30 Juni 2002 itu, kalau secara nasional pasal 29 UUD tidak usah diamandemen.lebih sepakat dengan Muhammadiyah. NU-nya waktu itu dari komisi A saya dulu. Kenapa karena itu pertanyaanya syariah yang mana yang dipake ? di Saudi Arabia mahkamah syariah menjatuhkan hukuman mati kepada Sayyid Mohammed Alwi al-Maliki. Mahkamah Syariah menjatuhkan hukuman mati kepada salah seorang ulama besar. Yang kita khawatirkan, syariat Islam dijadikan alat untuk membangun kekuasaan dalam kehidupan berpolitik. Contohnya Saudi Arabia oposisi dianggap kafir itu juga Juhaeman yang menyerang tahun 1979, yang mengakui imam mahdi itu, itu dianggap kafir langsung dieksekusi.
T : Ekspektasi orang luar terhadap NU sebagai penyeimbang kan besar itu, tapi peristiwa itu terlihat kan NU tidak tampil begitu tegas.
J : Kalau saya sih tegas, dulu sudah diprediksi oleh Rasulullah ketika Rasulullah membagi rampasan perang dari ka’ronah, Thaif dan Hunai, karena kelihatannya tidak adil, ada yang dikasih 100 onta, ada yang 50 onta, ada yang tidak dikasih, ada orang yang mendatangi nabi sambil mengangkat telunjuknya “Muhammad, bagi-bagi yang adil!” Nabi mengatakan apa yang saya lakukan itu perintah Allah, bukan kehendak saya, setelah orang itu pergi, nabi mengatakan, akan ada nanti kelompok dari umat saya, yang hafal Quran, baca Quran tidak melewati tenggorokannya. Artinya pemahamannya sangat mendasar, mereka itu hum syaro khalki sejelek-jeleknya manusia dan binatang. Orangnya ini, padahal dia ini orangnya ahli ibadah hafal Quran. Maka yang membunuh Sayyidina Ali itu juga orangnya Abdurrahman bin Muljam itu orangnya Qoimullaili wa soimunnahaar waqoimulqur’aan, tiap hari puasa, hafal qur’an, itulah pembunuh Sayyiddina Ali, kalau dangkal dalam memahami ilmu Al Qur’an nanti akan jadi khawarij yang mudah meng-kafirkan orang yang tidak sepaham. Bahkan ada lagi yang lebih ekstrim kelompok Nadhazahat, orang yang meragukan kekufurannya Ali itu kafir juga, Ketika Wasir bin A’to Mutazilah ketemu mereka, ketika tidak disangka-sangka ketemu dengan orang Khawarij, malah Wasir bin A’to mengaku orang Kristen, kami ini adalah ahlil kitab, dihormati sekali karena di Quran kita harus menghormati ahli kitab, tapi ketika bertemu dengan sahabat Abdullah bin Khattab, diajak, (NU Online)
T : Bagaimana review bapak terhadap peran NU dari lahir hingga hari ini ?
J : NU sejak dilahirkan masih berupa forum tafsirul afkar tahun 1914 di Surabaya memang membawa misi yang sangat mulia, mengintegralkan antara nilai universal Islam dengan budaya. Menghindari benturan antara agama dan budaya, pokoknya memahami Islam secara prinsipil, tak bisa ditawar-tawar, tapi selain yang prinsip, disitulah wilayah kita berkreasi, berupaya menemukan format yang pas, yang menarik NU itu sejak dulu sampai sekarang, kalau memegang prinsip solid, tapi kalau sudah dalam tataran aplikasinya di tengah masyarakat, masih belum solid sebagai jam’iyyah, kalau pegang pola pikir yang mendasar, prinsip, itu kita solid. Tapi bicara politik, ekonomi, budaya, sistem pendidikan masih belum satu.
T : Kira-kira faktornya apa ?
J : Faktornya budaya pesantren yang diatur oleh otoritas kyai sehingga membentuk masyarakat yang komunalisme. Jadi, kyai itu bagaimanapun walaupun kyai ngga masuk dalam struktur NU, dia itu lebih dominan daripada NU yang organisatoris. Jadi karena di sini NU dipahami sebagai ideologi, yah aqidah lah, sehingga masyarakat masuk NU itu nurut kyai bukan nurut pengurus NU. Lebih nurut ke kyai karena dipandang ideologinya, karena begawannya kan kyai. Makanya disitulah problem antara jamiyyah dan jamaah. Secara jamaah kita besar sekali sampai 60 juta tapi sangat lemah dalam arti belum mampu men-solidkan jamaah menjadi jamiyyah.
T : Ini kan keyakinan yang sudah cukup lama, lalu bagaimana mengatasinya ?
J : Sekarang ini dengan adanya partai-partai politik yang sudah cukup banyak dan kondisi yang sangat amburadul, banyak yang melupakan kepentingan bangsa, kita sekarang nih menampilkan agenda universal, kebangsaan, tidak bicara politik sekarang harus lebih ditekankan lagi. Kalau NU masih bicara politik, kecil sekarang partai-partai politik lagi sibuk dengan masing-masing kelompoknya. Kita bicara tentang kebangsaan jadi kita minimal sejajar dengan fungsinya TNI lah, mempertahankan kesatuan bangsa.
T : Kalau soal kebangsaan itu, sebetulnya dalam NU itu ideology yang prinsipil atau hanya siasat ?
J : Kalau bagi kita yang memahami itu prinsip, kita tahu nabi Muhammad di Madinah tidak membangun negara Islam, negara madinah, yang penduduknya ada Islam muhajirin, Ansor, Yahudi dll Nabi Muhammad sendiri mengakui lah keberadaan mereka sebagai warga negara madinah,
T : Selama ini kan ada kecenderungan bahwa sebagian orang-orangNU mulai bicara soal syariat Islam, di Banten misalnya, NU ada yang mendukung syariat Islam.
J : kalau memang mayoritas menghendaki syariat Islam, dan memahami betul bagaimana menjalankan sariat Islam, saya kira ngga apa-apa itu sebagai dasar hukum wilayah disitu, tapi kendalanya sangat besar. Orang Aceh Abubakar Ilyasa itu datang ke IAIN ke pasca Sarjana IAIN. Saya diundang, ternyata yang dibutuhkan bukan hanya hakim, kalau hakim barangkali siap, pengacara muslim seperti apa, polisi muslim seperti apa proses penyidikan Islami itu seperti apa, proses advokasi Islami itu seperti apa ? Saya rasa lebih terdorong karena emosi daripada cita-cita yang luhur. Tapi untuk nasional, tidak usah itu sudah keputusan Munas Ulama di Pondok Gede kemarin 28-30 Juni 2002 itu, kalau secara nasional pasal 29 UUD tidak usah diamandemen.lebih sepakat dengan Muhammadiyah. NU-nya waktu itu dari komisi A saya dulu. Kenapa karena itu pertanyaanya syariah yang mana yang dipake ? di Saudi Arabia mahkamah syariah menjatuhkan hukuman mati kepada Sayyid Mohammed Alwi al-Maliki. Mahkamah Syariah menjatuhkan hukuman mati kepada salah seorang ulama besar. Yang kita khawatirkan, syariat Islam dijadikan alat untuk membangun kekuasaan dalam kehidupan berpolitik. Contohnya Saudi Arabia oposisi dianggap kafir itu juga Juhaeman yang menyerang tahun 1979, yang mengakui imam mahdi itu, itu dianggap kafir langsung dieksekusi.
T : Ekspektasi orang luar terhadap NU sebagai penyeimbang kan besar itu, tapi peristiwa itu terlihat kan NU tidak tampil begitu tegas.
J : Kalau saya sih tegas, dulu sudah diprediksi oleh Rasulullah ketika Rasulullah membagi rampasan perang dari ka’ronah, Thaif dan Hunai, karena kelihatannya tidak adil, ada yang dikasih 100 onta, ada yang 50 onta, ada yang tidak dikasih, ada orang yang mendatangi nabi sambil mengangkat telunjuknya “Muhammad, bagi-bagi yang adil!” Nabi mengatakan apa yang saya lakukan itu perintah Allah, bukan kehendak saya, setelah orang itu pergi, nabi mengatakan, akan ada nanti kelompok dari umat saya, yang hafal Quran, baca Quran tidak melewati tenggorokannya. Artinya pemahamannya sangat mendasar, mereka itu hum syaro khalki sejelek-jeleknya manusia dan binatang. Orangnya ini, padahal dia ini orangnya ahli ibadah hafal Quran. Maka yang membunuh Sayyidina Ali itu juga orangnya Abdurrahman bin Muljam itu orangnya Qoimullaili wa soimunnahaar waqoimulqur’aan, tiap hari puasa, hafal qur’an, itulah pembunuh Sayyiddina Ali, kalau dangkal dalam memahami ilmu Al Qur’an nanti akan jadi khawarij yang mudah meng-kafirkan orang yang tidak sepaham. Bahkan ada lagi yang lebih ekstrim kelompok Nadhazahat, orang yang meragukan kekufurannya Ali itu kafir juga, Ketika Wasir bin A’to Mutazilah ketemu mereka, ketika tidak disangka-sangka ketemu dengan orang Khawarij, malah Wasir bin A’to mengaku orang Kristen, kami ini adalah ahlil kitab, dihormati sekali karena di Quran kita harus menghormati ahli kitab, tapi ketika bertemu dengan sahabat Abdullah bin Khattab, diajak, (NU Online)
KH. Sahal Mahfudz : Jalan Khittah adalah yang terbaik
Ketika NU memutuskan kembali ke khittah 26 pada Muktamar ke-27 di Situbondo 1984, masyarakat - utamanya warga NU - punya harapan besar bahwa organisasi kaum pesantren ini akan benar-benar bekerja untuk umat dan menyejahterakan warganya. Namun dalam perjalanannya ternyata NU sulit menahan godaan, terutama politik. Akibatnya, khittah, seperti diungkap Rais Am Syuriah PBNU KHA Sahal Mahfud, macet!
Bahkan kini para petinggi NU (baik tanfidziah maupun syuriah) di Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa kabupaten sibuk terlibat Pilkada. Yang dramatis di Nganjuk, ketua tanfidziyah dan rais syuriahnya, sama jadi kandidat wakil bupati dari partai berbeda. Benarkah keterlibatan pengurus NU dalam politik menguntungkan? Kenapa Mbah Sahal menganggap jalan khittah adalah yang terbaik? Berikut pandangan kiai intelektual yang populer sebagai penggagas fiqh sosial itu:
Dalam banyak pilkada di semua tingkatan, mulai dari pilpres hingga pilkades, banyak ketua NU yang maju sebagai calon. Akibatnya, banyak menimbulkan ekses tidak baik badi warga NU, misalnya mereka terkotak-kotak. Bagaimana kiai melihat ini?
Sebenarnya hal ini secara internal sendiri banyak yang mengecewakan. Saya sendiri juga ikut kecewa, karena netralitas dalam hal berpolitik itu dimaknai lain. Masyarakat itu masih tidak tega disapih, sehingga menjadi campur aduk persoalannya. Hanya secara organisatoris, memang sudah bisa dibedakan, tapi orangnya ini yang tak bisa lepas. Orang yang bertanggungjawab di satu organisasi, apapun dia mengatakan netral, kalau dia sendiri terlibat, itu ya tidak bisa.
Tapi aturannya kan membolehkan, selama tidak menggunakan atribut NU dan tidak menggunakan fasilitas NU?
Sebenarnya, aturannya tidak ada yang membolehkan maupun yang melarang. Keduanya tidak ada.
Kesimpulannya?
Ya, terserah orangnya. Kalau dia memang mau konsekuen meletakkan NU pada posisi yang netral, ya seperti saya. Tidak mendukung sana, tidak mendukung sini. Saya juga tenang. Semuanya datang ke sini minta restu, semua ya saya beri restu. Doa itu kan boleh-boleh saja.
Yang sudah terlanjur asyik dalam politik?
Susah itu, susah dipisah. Dan anehnya, beliau-beliau itu tidak mengerti apa itu arti politik.
Menurut kiai sendiri?
Politik itu kan diartikan sebagai siasah, sikap prilaku yang bertujuan untuk kepentingan kenegaraan. Ujung-ujungnya adalah kepentingan masyarakat banyak, tapi lewat kenegaraan. Selama ini pengertian politik (seperti) itu tidak dipakai. Pokoknya dia terjun di partai, katanya sudah politik, belum tentu. Orang yang benar dan sehat pikirannya seperti itu. Tapi kalau tidak sehat, tidak bisa berpikiran seperti itu.
Ibarat penyakit itu hanya penyakit orang NU atau penyakit bangsa secara umum?
Pada umumnya. Ini penyakit bangsa, tidak hanya orang NU.
Dalam kondisi seperti itu, tokoh NU yang terlibat kita biarkan?
Kita peringatkan. Kedua, harus ada tindak lanjut, tindakan preventif terhadap orang itu. Paling tidak, ada keputusan rapat untuk sementara dia sudah aktif memasuki masa kampanye, dia nonaktif saja dari NU. Dia tinggal pilih.
Andai dia sudah nonaktif?
Itu memang kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Tapi secara formal dia tidak salah.
Tapi faktanya kan sama saja. Orang tetap tidak bisa membedakan ketua NU itu aktif atau nonaktif?
Itu kan karena kebodohan orang saja. Tidak bisa melihat substansi dan manusia. Kalau sudah bicara itu, kembali ke pendidikan, dong.
Pendapat Kiai Sahal tentang ketua NU yang menjadi kepala daerah, bupati misalnya?
Justeru kita rugi. Kalau ada ketua NU jadi bupati itu boleh. Tapi dia sudah macet di situ. Jadi birokrat, dia macet. Lain halnya kalau ketua NU membuat kader yang militan betul dan komitmen terhadap NU, itu lain. Bisa diperintah.
Ketua NU yang jadi bupati, kan masih bisa diperintah oleh Rais Syuriahnya?
Ya, tidak bisa. Sudah jadi bupati kok diperintah Rais Syuriah, itu dari mana? Kan bukan pada tempatnya? Ngapain Syuriah ikut-ikut?
Kiai punya himbauan kepada warga NU ketika mereka menghadapi Pilkada?
Himbauan saya, hendaknya semua warga NU di masing-masing daerah itu kompak dalam menunjuk siapa calon bupati maupun pimpinan daerah. Tapi tidak mencalonkan. Salah, kalau dia mencalonkan, bukan pada tempatnya. Tapi harus ada kesepakatan.
Kalau mereka bilang tidak mencalonkan, tapi dicalonkan?
Sebenarnya kan tidak ada itu dicalonkan secara murni. Jujur sajalah, orang dicalonkan itu sebenarnya ya minta dicalonkan. Seribu satulah kalau ada itu.
Kalau beralasan ingin mengabdi pada ruang yang lebih besar, tidak hanya di lingkungan NU?
Itu omongnya. Tapi kenyataannya tidak ada. Malah hilang NU-nya.
Kiai, kenapa sih gairah politik orang NU itu selalu tinggi sampai sekarang?
Karena kembali ke khittah itu belum bisa disosialisasikan secara benar sejak dulu. Masih terdapat kekurangan, dan kekurangan ini sulit ditutupi, karena sudah terlanjur lama. Ambisi seseorang untuk berpolitik itu juga banyak sekali. Katakan sajalah - mohon maaf ini - masak ulama-ulama itu ada kasus di PKB tidak bisa memperbaiki, kok lalu bikin PKNU. Politik cap apa ini? Coba. Ini namanya orang tidak bisa menyelesaikan yang satu malah bikin lagi dua (masalah). Politik model apa ini? Kalau melihat rakyat seperti ini....Bukan hanya rakyat, kiainya juga banyak..he.. .he...he. ..
Lalu langkah kita bagaimana?
Sulit. Paling kita harus berani mengatakan dimana-dimana bahwa keuntungan sikap netral itu masih lebih banyak daripada sikap tidak netral. Ini kita berbicara kiai, kaena rakyat di bawah itu sebenarnya tidak ada masalah. Ketika seseorang itu sudah aktif di politik, kalau sudah mendapatkan posisi, itu sudah la salam wala kalam. Dimana-mana itu. Saya sendiri mengalami itu. Kalau sudah begini, siapa yang bisa diharapkan.
Kiai percaya kalau orang terjun ke politik itu karena berjuang?
Salah satu. Tetapi praktiknya banyak yang belum tepat. Tapi bahwa politik itu salah satu aspek perjuangan, iya. Dan yang paling fatal itu sekarang masyarakat bawah itu setiap pemilu enggan memilih, kecuali diberi uang. Jadi, dia memilih karena uang, bukan karena demokrasi.
Bukankah ini juga salah NU yang menganggap pemilu tidak penting, lalu membebaskan warganya untuk menyoblos atau tidak?
NU bukan begitu. NU tetap mendorong warganya untuk memilih. Soal kepada dia memilih, bebas. Itu namanya demokrasi. Bukan kok bebas itu terserah mau memilih atau tidak. Salah itu. Fardlu kifayah, kok.
Sudah 24 tahun khitah NU digulirkan. Tapi masih saja banyak yang salah tafsir. Bagaimana menurut kiai?
Itulah Indonesia. Sulit kita itu. Karena memang yang berpikir ke arah itu baru saya sendirian. Tidak ada temannya.
Idealnya dibutuhkan waktu berapa tahu agar khitah bisa dilaksanakan secara maksimal?
Saya tidak bisa menjamin perkiraan itu secara tepat, karena sosialisasi khitah sekarang ini macet. Tidak ada lagi orang yang menangani, sementara orang tetap pada kesalahpahaman tetap berjalan terus. Kalau tidak salah paham ini bukan NU, katanya begitu.
Dalam even Harlah ini, bukankah itu kesempatan yang baik untuk memulai lagi?
Semestinya begitu. Dan saya sudah sering mengajak teman-teman, tapi tak ada yang merespon.
Agar tak terjadi kesalahpahaman lagi, mungkin perlu dibuat buku Juklak Khitah tersendiri?
Sudah ada. Yang tertulis juga sudah ada.
Jadi mereka itu memang tidak paham atau pura-pura tidak paham?
Tidak paham saya kalau itu, tidak paham atau tidak mau paham. Karena sudah terlanjur ada kesenangan lain. Tidak tega dengan partai dan politik itu.
Konsep Kiai Sahal hingga bisa teguh bertahan?
Saya hanya punya satu prinsip, saya tetap meyakini jalan khitah itu adalah yang terbaik bagi NU. Saya juga punya pengalaman ketika NU menjadi partai, 1955 misalnya. Itu saya sudah aktif di NU. Kemudian ada massa mengambang, partai NU dilebur di PPP, itu saya juga di PPP. Pengalaman-pengalaman itu semuanya tidak ada yang menguntungkan. Kita
harus kembali seperti semula, ketika NU belum jadi partai. Ketika jadi partai pun NU tidak ada artinya. Dulu itu hitungannya NU hebat, itu kan kalau yang duduk di legislatif banyak, NU menang. Cuma itu, kok. Bukan substansi masalah.
Semua yang tengah bermain politik itu juga mengaku sesuai keputusan khitah. Tapi kok bisa beda-beda?
Iya, tapi mereka tidak tahu khitah itu apa. Iming-iming semua itu kan bohong saja. Saya yakin semua iming-iming itu bohong. Namanya juga iming-iming. Kalau ada pilkada di Jawa Tengah seperti sekarang, semua calon datang kesini. Yang non-muslim juga datang kesini. Saya terima semua.
Harusnya posisi NU seperti itu?
Iya.
Kiai, apa tidak eman-eman kalau massa NU yang begitu banyak itu dibiarkan mengambang?
Lha, nanti kapan dewasanya warga NU. Kita ini kan ingin mendewasakan warga NU. Tapi warganya sendiri tidak sadar supaya mereka cepat dewasa. Yang aktif dalam politik itu kan malah mengerdilkan diri sendiri.(dikutip dari Majalah Aula PWNU Jatim)
Bahkan kini para petinggi NU (baik tanfidziah maupun syuriah) di Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa kabupaten sibuk terlibat Pilkada. Yang dramatis di Nganjuk, ketua tanfidziyah dan rais syuriahnya, sama jadi kandidat wakil bupati dari partai berbeda. Benarkah keterlibatan pengurus NU dalam politik menguntungkan? Kenapa Mbah Sahal menganggap jalan khittah adalah yang terbaik? Berikut pandangan kiai intelektual yang populer sebagai penggagas fiqh sosial itu:
Dalam banyak pilkada di semua tingkatan, mulai dari pilpres hingga pilkades, banyak ketua NU yang maju sebagai calon. Akibatnya, banyak menimbulkan ekses tidak baik badi warga NU, misalnya mereka terkotak-kotak. Bagaimana kiai melihat ini?
Sebenarnya hal ini secara internal sendiri banyak yang mengecewakan. Saya sendiri juga ikut kecewa, karena netralitas dalam hal berpolitik itu dimaknai lain. Masyarakat itu masih tidak tega disapih, sehingga menjadi campur aduk persoalannya. Hanya secara organisatoris, memang sudah bisa dibedakan, tapi orangnya ini yang tak bisa lepas. Orang yang bertanggungjawab di satu organisasi, apapun dia mengatakan netral, kalau dia sendiri terlibat, itu ya tidak bisa.
Tapi aturannya kan membolehkan, selama tidak menggunakan atribut NU dan tidak menggunakan fasilitas NU?
Sebenarnya, aturannya tidak ada yang membolehkan maupun yang melarang. Keduanya tidak ada.
Kesimpulannya?
Ya, terserah orangnya. Kalau dia memang mau konsekuen meletakkan NU pada posisi yang netral, ya seperti saya. Tidak mendukung sana, tidak mendukung sini. Saya juga tenang. Semuanya datang ke sini minta restu, semua ya saya beri restu. Doa itu kan boleh-boleh saja.
Yang sudah terlanjur asyik dalam politik?
Susah itu, susah dipisah. Dan anehnya, beliau-beliau itu tidak mengerti apa itu arti politik.
Menurut kiai sendiri?
Politik itu kan diartikan sebagai siasah, sikap prilaku yang bertujuan untuk kepentingan kenegaraan. Ujung-ujungnya adalah kepentingan masyarakat banyak, tapi lewat kenegaraan. Selama ini pengertian politik (seperti) itu tidak dipakai. Pokoknya dia terjun di partai, katanya sudah politik, belum tentu. Orang yang benar dan sehat pikirannya seperti itu. Tapi kalau tidak sehat, tidak bisa berpikiran seperti itu.
Ibarat penyakit itu hanya penyakit orang NU atau penyakit bangsa secara umum?
Pada umumnya. Ini penyakit bangsa, tidak hanya orang NU.
Dalam kondisi seperti itu, tokoh NU yang terlibat kita biarkan?
Kita peringatkan. Kedua, harus ada tindak lanjut, tindakan preventif terhadap orang itu. Paling tidak, ada keputusan rapat untuk sementara dia sudah aktif memasuki masa kampanye, dia nonaktif saja dari NU. Dia tinggal pilih.
Andai dia sudah nonaktif?
Itu memang kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Tapi secara formal dia tidak salah.
Tapi faktanya kan sama saja. Orang tetap tidak bisa membedakan ketua NU itu aktif atau nonaktif?
Itu kan karena kebodohan orang saja. Tidak bisa melihat substansi dan manusia. Kalau sudah bicara itu, kembali ke pendidikan, dong.
Pendapat Kiai Sahal tentang ketua NU yang menjadi kepala daerah, bupati misalnya?
Justeru kita rugi. Kalau ada ketua NU jadi bupati itu boleh. Tapi dia sudah macet di situ. Jadi birokrat, dia macet. Lain halnya kalau ketua NU membuat kader yang militan betul dan komitmen terhadap NU, itu lain. Bisa diperintah.
Ketua NU yang jadi bupati, kan masih bisa diperintah oleh Rais Syuriahnya?
Ya, tidak bisa. Sudah jadi bupati kok diperintah Rais Syuriah, itu dari mana? Kan bukan pada tempatnya? Ngapain Syuriah ikut-ikut?
Kiai punya himbauan kepada warga NU ketika mereka menghadapi Pilkada?
Himbauan saya, hendaknya semua warga NU di masing-masing daerah itu kompak dalam menunjuk siapa calon bupati maupun pimpinan daerah. Tapi tidak mencalonkan. Salah, kalau dia mencalonkan, bukan pada tempatnya. Tapi harus ada kesepakatan.
Kalau mereka bilang tidak mencalonkan, tapi dicalonkan?
Sebenarnya kan tidak ada itu dicalonkan secara murni. Jujur sajalah, orang dicalonkan itu sebenarnya ya minta dicalonkan. Seribu satulah kalau ada itu.
Kalau beralasan ingin mengabdi pada ruang yang lebih besar, tidak hanya di lingkungan NU?
Itu omongnya. Tapi kenyataannya tidak ada. Malah hilang NU-nya.
Kiai, kenapa sih gairah politik orang NU itu selalu tinggi sampai sekarang?
Karena kembali ke khittah itu belum bisa disosialisasikan secara benar sejak dulu. Masih terdapat kekurangan, dan kekurangan ini sulit ditutupi, karena sudah terlanjur lama. Ambisi seseorang untuk berpolitik itu juga banyak sekali. Katakan sajalah - mohon maaf ini - masak ulama-ulama itu ada kasus di PKB tidak bisa memperbaiki, kok lalu bikin PKNU. Politik cap apa ini? Coba. Ini namanya orang tidak bisa menyelesaikan yang satu malah bikin lagi dua (masalah). Politik model apa ini? Kalau melihat rakyat seperti ini....Bukan hanya rakyat, kiainya juga banyak..he.. .he...he. ..
Lalu langkah kita bagaimana?
Sulit. Paling kita harus berani mengatakan dimana-dimana bahwa keuntungan sikap netral itu masih lebih banyak daripada sikap tidak netral. Ini kita berbicara kiai, kaena rakyat di bawah itu sebenarnya tidak ada masalah. Ketika seseorang itu sudah aktif di politik, kalau sudah mendapatkan posisi, itu sudah la salam wala kalam. Dimana-mana itu. Saya sendiri mengalami itu. Kalau sudah begini, siapa yang bisa diharapkan.
Kiai percaya kalau orang terjun ke politik itu karena berjuang?
Salah satu. Tetapi praktiknya banyak yang belum tepat. Tapi bahwa politik itu salah satu aspek perjuangan, iya. Dan yang paling fatal itu sekarang masyarakat bawah itu setiap pemilu enggan memilih, kecuali diberi uang. Jadi, dia memilih karena uang, bukan karena demokrasi.
Bukankah ini juga salah NU yang menganggap pemilu tidak penting, lalu membebaskan warganya untuk menyoblos atau tidak?
NU bukan begitu. NU tetap mendorong warganya untuk memilih. Soal kepada dia memilih, bebas. Itu namanya demokrasi. Bukan kok bebas itu terserah mau memilih atau tidak. Salah itu. Fardlu kifayah, kok.
Sudah 24 tahun khitah NU digulirkan. Tapi masih saja banyak yang salah tafsir. Bagaimana menurut kiai?
Itulah Indonesia. Sulit kita itu. Karena memang yang berpikir ke arah itu baru saya sendirian. Tidak ada temannya.
Idealnya dibutuhkan waktu berapa tahu agar khitah bisa dilaksanakan secara maksimal?
Saya tidak bisa menjamin perkiraan itu secara tepat, karena sosialisasi khitah sekarang ini macet. Tidak ada lagi orang yang menangani, sementara orang tetap pada kesalahpahaman tetap berjalan terus. Kalau tidak salah paham ini bukan NU, katanya begitu.
Dalam even Harlah ini, bukankah itu kesempatan yang baik untuk memulai lagi?
Semestinya begitu. Dan saya sudah sering mengajak teman-teman, tapi tak ada yang merespon.
Agar tak terjadi kesalahpahaman lagi, mungkin perlu dibuat buku Juklak Khitah tersendiri?
Sudah ada. Yang tertulis juga sudah ada.
Jadi mereka itu memang tidak paham atau pura-pura tidak paham?
Tidak paham saya kalau itu, tidak paham atau tidak mau paham. Karena sudah terlanjur ada kesenangan lain. Tidak tega dengan partai dan politik itu.
Konsep Kiai Sahal hingga bisa teguh bertahan?
Saya hanya punya satu prinsip, saya tetap meyakini jalan khitah itu adalah yang terbaik bagi NU. Saya juga punya pengalaman ketika NU menjadi partai, 1955 misalnya. Itu saya sudah aktif di NU. Kemudian ada massa mengambang, partai NU dilebur di PPP, itu saya juga di PPP. Pengalaman-pengalaman itu semuanya tidak ada yang menguntungkan. Kita
harus kembali seperti semula, ketika NU belum jadi partai. Ketika jadi partai pun NU tidak ada artinya. Dulu itu hitungannya NU hebat, itu kan kalau yang duduk di legislatif banyak, NU menang. Cuma itu, kok. Bukan substansi masalah.
Semua yang tengah bermain politik itu juga mengaku sesuai keputusan khitah. Tapi kok bisa beda-beda?
Iya, tapi mereka tidak tahu khitah itu apa. Iming-iming semua itu kan bohong saja. Saya yakin semua iming-iming itu bohong. Namanya juga iming-iming. Kalau ada pilkada di Jawa Tengah seperti sekarang, semua calon datang kesini. Yang non-muslim juga datang kesini. Saya terima semua.
Harusnya posisi NU seperti itu?
Iya.
Kiai, apa tidak eman-eman kalau massa NU yang begitu banyak itu dibiarkan mengambang?
Lha, nanti kapan dewasanya warga NU. Kita ini kan ingin mendewasakan warga NU. Tapi warganya sendiri tidak sadar supaya mereka cepat dewasa. Yang aktif dalam politik itu kan malah mengerdilkan diri sendiri.(dikutip dari Majalah Aula PWNU Jatim)
Habib Luthvi : Tasawuf berfungsi bersihkan hati
Semakin hari, kehidupan terasa semakin sulit, setiap orang harus bersaing untuk bisa bertahan dalam menjalani kehidupan. Banyak diantara orang yang gagal menjadi stress atau putus asa. Disinilah tasawwuf berperan untuk menjaga keseimbangan hati dan ssebagai upaya agar tidak selalu ingat kepada Allah yang telah menentukan segalanya. Berikut ini wawancara dari NU Online dengan Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah al Mu’tabarah An Nahdliyyah (Jatman) Habib Lutfi bin Ali bin Yahya tentang peranan tasawwuf bagi masyarakat
Apa manfaat tasawwuf untuk masa modern sekarang ini?
Tasawwuf itu tidak hanya bermanfaat untuk masa modern sekarang ini saja, sampai sepanjang masa diperlukan karena dunia tasawwuf mencerminkan pekerjaan hati, supaya bersih dari segala bentuk yang menyebabkan kesyirikan. Kesyirikan itu kan luas, contohnya kita makan, kalau tidak makan kita berkeyakinan akan mati, apa nasi bisa bikin hidup orang?. Keyakinan sehat adalah segalanya, penyakit tidak bisa bikin mati orang! Penyakit bukan tuhan, inilah diantara jenis kemusyrikan.
Bagaimana hati kita bersih dari syirik kecil, lebih-lebih syirik besar, letaknya tidak di bibir, di mata, tetapi di hati. Sumber dari perbuatan yang kurang baik dan kurang terpuji di sisi Allah adalah kealpaan, lupa kepada yang maha kuasa sehingga timbulnya riya, hasud, dengki, dan sebagainya ini karena kita lupa.
Bagaimana kita bisa bercermin? kita kan memiliki idola, yaitu Rasulullah. Mulut kita bercermin pada Rasulullah, pandangan kita bercermin pada Rasulullah. Tugas tasawwuf membersihkan, supaya kita bersih dalam menjalankan amal dan budi pekerti yang baik. Kalau kita menjalankan syariah, amal ubudiyah tidak didorong atau diwarnai oleh hawa nafsu.
Bagaimana agar kita jeli mana dorongan hawa nafsu dan bukan, tasawwuf yang memberi pelajaran, dan mana yang keluar dari hati yang berkiblat pada kitabullah dan sunnnati rasulullah.
Kalau tarekat sendiri bagaimana, apa bedanya dengan tasawwuf?
Tasawwuf adalah buah daripada tarekat. Tarekat bersumber pada “Bersembahlah sujudlah kamu kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya kalau belum mampu merasa didengar dan dilihat oleh Allah. Kalau kita sudah merasa didengar dan dilihat oleh Allah, mungkinkan kita berbuat yang tidak baik, paling tidak akan menimbulkan rasa malu, kalau sudah seperti itu akan ada koreksi dan introspeksi. Kalau kita sudah malu, menjadikan kita takut, tapi takut dalam pengertian takwa.
Yang namanya ibadah, tak hanya sholat tetapi juga bekerja. Andainya kita mati di tengah jalan, kita mati syahid. Hansip contohnya, niatnya menjaga lingkungan masyarakat, walaupun dia berjalan-jalan, tak membaca tasbih, tetapi itu sudah ibadah. Luas sekali arti ibadah.
Di sinilah tarekat berperan sebagai la ilaha illallah untuk mengganti ukiran hati yang banyak lupa kepada Allah. Bagaimana kita bercermin pada akhlak rasulullah, hati kita dicuci. Yang tadinya lihat orang tentram, kita nga senang, lihat orang bahagia kita nga senang, ada orang diberi pangkat, entah itu pangkat ukhrawi atau duniawi, kita nga senang, tetangga kita kaya malah tidak bangga, inilah diantaranya. Ini semuanya di hati. Hati kita dicuci sehingga kita betul-betul bisa mencapai alaa bidkhirillahi tatmainnul kulub (berzikir kepada Allah akan menenteramkan hati).
Tasawwuf sangat membantu masyarakat kota untuk menjaga keseimbangan batin?
Ya, diantaranya itu. Kita berharap hidup ini bias seperti ikan, hidup di laut, tetapi tidak asin karena memiliki prinsip dan kepribadian. Misalnya pengertian zuhud di sini untuk membersihkan ketaallukan (ketundukan) pada bentuk duniawi, bukan meninggalkan duniawi, jangan salah faham. Bagaimana kita bisa berhaji atau berzakat. Kita ingin bisa berhaji, bukan dihajikan, kita ingin berzakat, bukan dizakati, ya kan. Membersihkan hati pada keterkaitan pada selain Allah. Kita mutlak kembalikan pada Allah sehingga kita kaya, kita dekat dengan pemberi kekayaan, bukan pada kekayaannya, sehingga kita tidak memiliki kekuatiran akan urusan harta. Kekuatiran kita pada pada kondisi iman kita. Kalau kita tidak kuatir tak akan menjaga, apa yang diberi Allah.
Belakangan ini banyak tumbuh aliaran baru, termasuk dalam terekat. Bagaimana Jatman memandang hal ini?
Sebaiknya kita tidak mengatakan aliran ini itu dan sebagainya, Yang penting bagaimana kita mempelajari tasawwuf yang sesuai dengan ajaran assunah dan al Qur’an yang telah diterangkan ahli tasawwuf yang benar. Itu saja yang kita pelajari, nanti kita tahu mana yang benar dan tidak, daripada nanti kita mengatakan munculnya kelompok ini atau itu.
Kalau sulit menentukan aliran mana yang layak diikuti, tanyakan pada guru-guru yang benar-benar mumpuni dalam ilmu tasawwuf sehingga kita tidak sesat dalam mamahaminya, sebab bahasa dalam bahasa tasawwuf sulit. Seperti ungkapan “hiasi dirimu dengan kemaksiatan", padahal maksudnya hiasilah dirimu dengan perasaan banyak dosa, jangan menghiasi dirimu perasaan banyak amalnya.
Mengapa tasawwuf menggunakan bahasa yang tinggi, supaya kaum yang baru, kaum mubtadiin (orang awam), mempelajari hal-hal mendasar dalam Islam seperti caranya wudhu, sholat, sifat Allah, dan sebagainya. Setelah itu cukup, baru mempelajari dunia tasawwuf. Jadi masuk tasawwuf bukan sebagai pelarian, untuk mencari ketenangan. Setelah kita belajar syariatnya, nanti kita betul-betul memahami dimana letaknya tasawwuf.
Bagaimana kalangan tarekat mensikapi politik?
Kita harus menjaga jamiyyah tarekat dari kepentingan politik, tetapi jamiyyah tarekat tidak menghalangi hak individunya dalam menunaikan demokrasinya, asal tidak membawa nama jamiyyah tarekatnya. Jadi wadah ini utuh. Ini yang penting, Kita tidak membenarkan golput, manfaatkan hak dan berilah ketauladanan dari jamaah terakat. Pilgub harus kita jadikan supaya pendewasaan, menambah wawasan yang luas, entah wawasan kebangsaan, agama dan lainnya. Akhirnya kita bisa menjadi contoh bagi ummat dan bangsa yang dalam keadaan dahaga.
Benarkan hanya di Indonesia jamiyyah tarekat ini yang bisa menyatukan seluruh aliran tarekat muktabarah?
Kalau di Indonesia memang semua tarekat bisa kumpul. Masing-masing tarekat punya kelebihan, setiap manusia pun diberi kelebihan masing-masing individunya, tetapi tak harus dijadikan kelebihan dan kekurangan seseorang untuk saling merendahkan. Kelebihan harus bisa menutupi kekurangan yang lain sehingga harus saling mengisi.
Mungkinkan konsep ini bisa dikembangkan ke wilayah lain?
Semoga saja, harapaan kita sama, kebersamaan diantara berbagai aliran tarekat bisa dikembangkan ke kawasan dunia lainnya. (NU Online)
Apa manfaat tasawwuf untuk masa modern sekarang ini?
Tasawwuf itu tidak hanya bermanfaat untuk masa modern sekarang ini saja, sampai sepanjang masa diperlukan karena dunia tasawwuf mencerminkan pekerjaan hati, supaya bersih dari segala bentuk yang menyebabkan kesyirikan. Kesyirikan itu kan luas, contohnya kita makan, kalau tidak makan kita berkeyakinan akan mati, apa nasi bisa bikin hidup orang?. Keyakinan sehat adalah segalanya, penyakit tidak bisa bikin mati orang! Penyakit bukan tuhan, inilah diantara jenis kemusyrikan.
Bagaimana hati kita bersih dari syirik kecil, lebih-lebih syirik besar, letaknya tidak di bibir, di mata, tetapi di hati. Sumber dari perbuatan yang kurang baik dan kurang terpuji di sisi Allah adalah kealpaan, lupa kepada yang maha kuasa sehingga timbulnya riya, hasud, dengki, dan sebagainya ini karena kita lupa.
Bagaimana kita bisa bercermin? kita kan memiliki idola, yaitu Rasulullah. Mulut kita bercermin pada Rasulullah, pandangan kita bercermin pada Rasulullah. Tugas tasawwuf membersihkan, supaya kita bersih dalam menjalankan amal dan budi pekerti yang baik. Kalau kita menjalankan syariah, amal ubudiyah tidak didorong atau diwarnai oleh hawa nafsu.
Bagaimana agar kita jeli mana dorongan hawa nafsu dan bukan, tasawwuf yang memberi pelajaran, dan mana yang keluar dari hati yang berkiblat pada kitabullah dan sunnnati rasulullah.
Kalau tarekat sendiri bagaimana, apa bedanya dengan tasawwuf?
Tasawwuf adalah buah daripada tarekat. Tarekat bersumber pada “Bersembahlah sujudlah kamu kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya kalau belum mampu merasa didengar dan dilihat oleh Allah. Kalau kita sudah merasa didengar dan dilihat oleh Allah, mungkinkan kita berbuat yang tidak baik, paling tidak akan menimbulkan rasa malu, kalau sudah seperti itu akan ada koreksi dan introspeksi. Kalau kita sudah malu, menjadikan kita takut, tapi takut dalam pengertian takwa.
Yang namanya ibadah, tak hanya sholat tetapi juga bekerja. Andainya kita mati di tengah jalan, kita mati syahid. Hansip contohnya, niatnya menjaga lingkungan masyarakat, walaupun dia berjalan-jalan, tak membaca tasbih, tetapi itu sudah ibadah. Luas sekali arti ibadah.
Di sinilah tarekat berperan sebagai la ilaha illallah untuk mengganti ukiran hati yang banyak lupa kepada Allah. Bagaimana kita bercermin pada akhlak rasulullah, hati kita dicuci. Yang tadinya lihat orang tentram, kita nga senang, lihat orang bahagia kita nga senang, ada orang diberi pangkat, entah itu pangkat ukhrawi atau duniawi, kita nga senang, tetangga kita kaya malah tidak bangga, inilah diantaranya. Ini semuanya di hati. Hati kita dicuci sehingga kita betul-betul bisa mencapai alaa bidkhirillahi tatmainnul kulub (berzikir kepada Allah akan menenteramkan hati).
Tasawwuf sangat membantu masyarakat kota untuk menjaga keseimbangan batin?
Ya, diantaranya itu. Kita berharap hidup ini bias seperti ikan, hidup di laut, tetapi tidak asin karena memiliki prinsip dan kepribadian. Misalnya pengertian zuhud di sini untuk membersihkan ketaallukan (ketundukan) pada bentuk duniawi, bukan meninggalkan duniawi, jangan salah faham. Bagaimana kita bisa berhaji atau berzakat. Kita ingin bisa berhaji, bukan dihajikan, kita ingin berzakat, bukan dizakati, ya kan. Membersihkan hati pada keterkaitan pada selain Allah. Kita mutlak kembalikan pada Allah sehingga kita kaya, kita dekat dengan pemberi kekayaan, bukan pada kekayaannya, sehingga kita tidak memiliki kekuatiran akan urusan harta. Kekuatiran kita pada pada kondisi iman kita. Kalau kita tidak kuatir tak akan menjaga, apa yang diberi Allah.
Belakangan ini banyak tumbuh aliaran baru, termasuk dalam terekat. Bagaimana Jatman memandang hal ini?
Sebaiknya kita tidak mengatakan aliran ini itu dan sebagainya, Yang penting bagaimana kita mempelajari tasawwuf yang sesuai dengan ajaran assunah dan al Qur’an yang telah diterangkan ahli tasawwuf yang benar. Itu saja yang kita pelajari, nanti kita tahu mana yang benar dan tidak, daripada nanti kita mengatakan munculnya kelompok ini atau itu.
Kalau sulit menentukan aliran mana yang layak diikuti, tanyakan pada guru-guru yang benar-benar mumpuni dalam ilmu tasawwuf sehingga kita tidak sesat dalam mamahaminya, sebab bahasa dalam bahasa tasawwuf sulit. Seperti ungkapan “hiasi dirimu dengan kemaksiatan", padahal maksudnya hiasilah dirimu dengan perasaan banyak dosa, jangan menghiasi dirimu perasaan banyak amalnya.
Mengapa tasawwuf menggunakan bahasa yang tinggi, supaya kaum yang baru, kaum mubtadiin (orang awam), mempelajari hal-hal mendasar dalam Islam seperti caranya wudhu, sholat, sifat Allah, dan sebagainya. Setelah itu cukup, baru mempelajari dunia tasawwuf. Jadi masuk tasawwuf bukan sebagai pelarian, untuk mencari ketenangan. Setelah kita belajar syariatnya, nanti kita betul-betul memahami dimana letaknya tasawwuf.
Bagaimana kalangan tarekat mensikapi politik?
Kita harus menjaga jamiyyah tarekat dari kepentingan politik, tetapi jamiyyah tarekat tidak menghalangi hak individunya dalam menunaikan demokrasinya, asal tidak membawa nama jamiyyah tarekatnya. Jadi wadah ini utuh. Ini yang penting, Kita tidak membenarkan golput, manfaatkan hak dan berilah ketauladanan dari jamaah terakat. Pilgub harus kita jadikan supaya pendewasaan, menambah wawasan yang luas, entah wawasan kebangsaan, agama dan lainnya. Akhirnya kita bisa menjadi contoh bagi ummat dan bangsa yang dalam keadaan dahaga.
Benarkan hanya di Indonesia jamiyyah tarekat ini yang bisa menyatukan seluruh aliran tarekat muktabarah?
Kalau di Indonesia memang semua tarekat bisa kumpul. Masing-masing tarekat punya kelebihan, setiap manusia pun diberi kelebihan masing-masing individunya, tetapi tak harus dijadikan kelebihan dan kekurangan seseorang untuk saling merendahkan. Kelebihan harus bisa menutupi kekurangan yang lain sehingga harus saling mengisi.
Mungkinkan konsep ini bisa dikembangkan ke wilayah lain?
Semoga saja, harapaan kita sama, kebersamaan diantara berbagai aliran tarekat bisa dikembangkan ke kawasan dunia lainnya. (NU Online)
KH. Masdar Farid Mas'udi : NU dan Kebangkitan Islam
Ketua PBNU KH. Masdar Farid Mas’udi meyakini bahwa kebangkitan Islam itu hanya bisa dimulai dari Indonesia, dan kuncinya di NU. Demikian katanya dalam acara Kajian Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Kiswah) yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim di Ruang Salsabila Kantor PWNU Jatim, Sabtu (7/2). Berikut wawancara Yusuf Suharto ( Yus ) dari NU Online dengan KH. Masdar Farid Masudi (MFM), Ketua PBNU:
Yus : Benarkah kebangkitan dunia Islam musti bermula dari Indonesia ?
MFM: Saya meyakini itu. Sadar atau tidak kita ini sedang ditunggu. Sejauh ini, dari berbagai negara Islam di dunia, yang secara lengkap memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpinnya, ya Indonesia.
Yus : Mengapa Indonesia, apa kelebihan-kelebihannya dibanding negara-negara Islam lain?
MFM : Ada banyak faktor unggulan, antara lain: wilayahnya paling luas, letaknya strategis, dengan kekayaan alam yang melimpah dan beraneka, jumlah umat Islamnya terbesar, dan yang tidak kalah penting corak keislamannya yang tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran) terhadap kebhinekaan. Faktor terakhir adalah karakter keislaman Nusantara, keislaman yang dianut dan dihayati oleh NU.
Yus: Kenapa kepemimpinan Indonesia yang penuh potensi itu belum juga muncul?
MFM: Karena NU sebagai juru kuncinya belum sempat menata diri dengan semestinya. Dari waktu ke waktu selalu saja ada pihak yang karena kedengkiannya, terus berusaha meminggirkan NU dan umatnya. Sebagian mereka karena pandangan keagamannya yang picik dan menganggap dirinya yang paling benar, sebagian karena hasrat politik dan kekuasaan yang berlebihan. Lihat selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, NU terus dipinggirkan dan dilumpuhkan, terutama di masa Orba. Padahal semua orang tahu, Orba tidak mungkin hadir tanpa NU. Tapi begitu mereka menata kekuasannya, NU dilumpuhkan, umatnya diintimidasi. Padahal setiap bangsa ini dalam bahaya, NU dan para ulama/ Kiainya selalu tampil di depan untuk menyelamatkannya.
Yus: Bagaimana supaya peran NU bisa dioptimalkan untuk kejayaan NKRI dan kepemimpinannya di dunia Islam?
MFM: Pertama kedengkian dari pihak luar terhadap NU harus diakhiri; baik kedengkian secara teologis maupun politis. Kedua, pihak internal NU sendiri, baik jajaran pemimpin di semua level dan segenap warganya di seluruh pelosok negeri harus berbenah secara super serius. Kita boleh meyakini, apa yang kita anut adalah kebenaran – sekali pun kita tidak boleh takabur dengan mengklaim diri kita satu-satunya yang benar. Kebenaran itu milik Allah semata. Tapi ingat, kata Sayyidina Ali, kebenaran tanpa ”nidham”, gampang dikalahkan oleh kebatilan yang ber-nidham.
Yus: Apa itu nidhom, Kiai?
MFM: Nidhom adalah organisasi dan manajemen. Atau dalam bahasa Rasulullah SAW, kejamaahan kita yang kurang. Padahal hanya dengan kejamaahan, kita bisa mendapatkan kekuatan dari Allah SWT yang luar biasa. Alaikum biljamaah; Yadullah fauqal jamaah/ Kalian wajib berjamaah; Kekuatan Allah hanya dianugerahkan kepada mereka yang mau berjamaah. Wadah kebersamaan (jamaah) itulah yang kita sebut jam’iyah, atau organsiasi.
Yus: Bagaimana kita memperkuatnya?
MFM: Syarat utama dan pertama-tama kita harus sepakat mengenai tujuan bersama dan agenda bersama sebagai Nahdliyin. Ingat tujuan bersama, bukan tujuan perorangan yang yang kebetulan sama. Saya dan anda bisa punya tujuan. Misalnya ke pasar; dengan agenda yang sama, untuk jualan. Apa yang terjadi? Kita tidak harus berangkat bareng, dan di pasar kita bisa saling menjatuhkan. Tujuan bersama adalah agenda untuk kepentingan bersama, yang tidak mungkin dicapai tanpa diusahakan bersama, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Yus: Apa tujuan bersama NU, untuk semua warga NU?
MFM: Tujuan bersama (ghayah ijtimaiyyah/ collective goal) kita sebagai warga Nahdliyin dalam wadah NU adalah ”terwujudnya tatanan masyarakat Islam Indonesia yang maju dan bermartabat sesuai ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang bercirikan tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat) dan i’tidal (lurus).
Yus: Kalau agenda-agenda utamanya?
MFM: Mengacu pada apa yang dipikirkan para pendiri NU ada 4 (empat) agenda besar: Pertama, agenda menjaga integritas dan keutuhan NKRI, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air); Kedua, agenda memajukan ”Pemikiran Keagamaan” yang mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah dan bergerak maju, seperti diinspirasikan oleh gerakan Tashwirul Afkar (Reformulasi Pemikiran Keagamaan); Ketiga, agenda memajukan ”Kesejahteraan umat” dimulai dari yang paling nyata, kesejahteraan ekonomi, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang); Keempat adalah agenda mempertahankan ”Keberislaman yang santun dan kokoh dalam garis moderasi” seperti diinspirasikan oleh missi Komite Hijaz. Memang sasaran tembak Komite Hijaz waktu itu adalah untuk menyangkal gerakan ekstrim kanan Wahabisme-Fundamentalistik. Tapi secara implisit juga koreksi terhadap kecenderungan ekstrim kiri Sekularisme-Liberalistik.
Yus: Bagaimana kiprah NU dengan empat egenda utama itu?
MFM: Kita harus akui dengan jujur, bahwa dari empat agenda itu, baru satu yang berjalan dengan baik, yakni: Agenda mempertahankan keutuhan NKRI. Mungkin karena ini agenda emosional dan fisikal, kita boleh mengklaim yang terbaik dari semua. Baik ketika era revolusi kemerdekaan, ketika ada gangguan separatisme DI/TII, ketika menghadapi G30-S PKI, dan munculnya aksi separatisme belakangan. Tapi tiga agenda lainnya, kita harus akui sangat lemah. Itulah mengapa kita suka mengibaratkan diri lebih sebagai pasukan pendorong mobil mogok. Seluruh tenaga (fisik) kita kerahkan; sesudah itu kita ditingggalkan di jalan. Harus kita sadari bahwa untuk memenangkan ketiga agenda yang selama ini terbengkalai itu, kita butuh kebersamaan yang kokoh dengan dukungan kepemimpinan yang juga solid dari, minimal tiga unsur.
Yus: Siapa saja ketiga unsur yang Kiai maksud?
MFM: Pertama, kalangan profesional terdidik yang memiliki kemampuan dan komitmen pengabdian, sebagai gugus andalan pelayanan umat garda depan, di semua lini; mulai pusat sampai di tingkat kepengurusan akar rumput. Komponen ini akan lebih baik kalau bisa mencapai 70% dari keseluruhan pengurus NU. Komponen kedua, adalah para ulama/ Kiai yang berwawasan kepemimpinan (qiyadah) dan pengayoman (riayah), sebagai jangkar keutuhan serta integritas moral/ akhlaq jam’iyah, mulai dari tingkat paling bawah sampai dengan tingkat teratas. Karena keterbatasan manusia pilihan ini, dengan 25% saja dari keseluruhan kepengurusan kita sudah sangat bersyukur. Komponen ketiga, yang lebih elite dan khawas adalah gugusan awliya sebagai jangkar spiritual jam’iyah; yakni orang-orang suci yang kesibukannya hanya berdoa dan berdoa dengan air mata dalam kesunyian malam agar NU dan bangsa ini tetap dalam perlindungan, bimbingan dan ridlo-Nya. Jika komponen ini ada 5% saja dari gugusan kepemimpinan NU, itu sudah sangat mewah. Bahkan hanya 1% atau 0.01 % pun kita sudah merasa tentram. Karena inilah yang secara mendasar membedakan NU dari ormas lainnya. Tanpa kehadiran dan tangis mereka rasanya apalah bedanya NU dengan lainnya.
Yus: Itu tadi perihal unsur-unsur kepemimpinan NU. Bagaimana dengan jamaahnya, warganya? Kualifikasi apa yang harus mereka miliki?
MFM : Ya, pertama-tama mereka harus faham dan menyadari bahwa mereka adalah warga atau anggota dari sebuah wadah kebersamaan, wadah keumatan yang namanya NU.
Yus: Apakah mereka belum memiliki pemahaman dan kesadaran itu?
MFM : Jangankan mereka, bahkan elite NU sendiri banyak yang belum. Selama ini kita, dan segenap umat yang disebut Nahdliyin kan hanya merasa NU, karena kebetulan menganut amaliyah keagamaan yang sama: qunut, tahlilan, mauludan, dibaan dsb. Dikiranya ber-NU cukup dengan itu. Tahlilan dsb itu tradisi dan amaliyah keagamaan yang sudah ada ratusan tahun sebelum Mbah Hasyim dan Mbah Wahab bikin NU. NU yang dibikin Mbah Hasyim tidak lain adalah organisasi, wadah kebersamaan bagi para pengamal tradisi dimaksud untuk memikul cita-cita bersama dengan empat agenda kolektif yang saya sebutkan tadi. Jadi ber-NU itu tidak cukup hanya dengan tahlil dan dibaan, atau bahkan ngaji kitab kuning, yang kesemuanya adalah agenda perorangan. Memang, pasti bukan NU kalau ngemohi tahlil dan qunut. Tapi meski sudah tahlil dan qunut kalau belum menyatadkan diri bergabung dalam wadah kebersamaan yang bernama NU juga belum bisa disebut warga NU seperti yang dimaksudkan oleh Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Demikian pula baru bisa disebut pengurus NU, kalau yang diurus juga lebih dari sekedar tahlil dan ngaji. Disebut pengurus NU kalau yang diurus adalah empat agenda di atas untuk kepentingan warganya yang secara kultural adalah ahlul qunut wat tahlil.
Yus: Darimana kita musti memulai untuk membangun NU sebagai wadah kebersamaan?
MFM : Pertama kita harus lakukan dakwah secara serentak dari Sabang sampai Merauke, kepada penganut kultur keagaman NU agar secara sadar bergabung dalam wadah jamiyah NU. Untuk itu di semua sekolah, pesantren, mushalla dan masjid-masjid Nahdliyin harus segera dibentuk kepengurusan NU. Kita harus NU-kan warga NU. Yang bukan warga NU jangan diganggu. Jangan kita ikuti akhlak orang-orang yang suka nyerobot kepunyaan orang lain. Kita tidak boleh jahat, dengan mengambil hak orang lain. Tapi kita juga tidak boleh ”bodoh” dengan membiarkan orang lain mengambil hak kita. Ingat kaidah Fiqh, La dloror wa la dlirar.
Yus: Itu pun terkadang tidak gampang
FMF : Di dunia ini tidak ada yang gampang. Tapi ingat, juga tidak ada yang mustahil, kalau kita mau bekerja keras, tidak gampang menyerah. jangan lembek. Man jadda wajada/ Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat. Itu jaminan Allah! Jangan pernah kita meragukannya!
Untuk itu, beri pengertian kepada mereka apa hakikat NU sebagai wadah keumatan. Sebagai organisasi, NU adalah ibarat masjid, masjid virtual (maknawi) yang tidak kasat mata tapi nyata adanya. Bedanya, masjid jasmani yang terbuat dari kayu dan beton adalah tempat kita menunaikan amal saleh perorangan (fardiyah) untuk hablun minallah secara berjamaah; sementara NU sebagai organisasi adalah masjid tempat kita menunaikan amal saleh kolektif (ijtimaiyah) secara berjamaah. Salat saja sebagai agenda perorangan (fardiyah) yang sah dilakukan sendirian, toh kita disuruh berjamah; bagaimana dengan amaliyah kolektif (membangun kejayaan umat) yang tidak mungkin terwujud tanpa kebersamaan? Pastilah jamaah untuk kesalehan sosial jauh lebih diperintahkan dibanding dengan jamaah kesalihan individual. Maka membangun NU sebagai masjid virtual, masjid sosial, bisa lebih besar pahalanya, dibanding membangun masjid material. Dan meramaikan NU sebagai masjid sosial dengan kesalihan sosial, tentunya juga lebih besar keutamaannya, dibanding dengan memakmurkan masjid material dengan kesalihan personal. Sebagai umat Islam yang mengemban cita-cita kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin) mutlak untuk membangun dan memakmurkan kedua masjid tadi.
Yus : Pertanyaan terakhir. Bagaimana komentar Kiai tentang pembaharuan yang didengung- dengungkan kalangan Muda NU.
MFM: Pada dasarnya saya ingin menempatkannya pada agenda Tashwirul Afkar seperti saya singgung di depan. Organisasi keulamaan terbesar di dunia tentunya juga bisa menginspirasi tumbuhnya pemikiran keagamaan yang besar. Tapi, karena tantangan zaman terlalu deras, kelihatannya anak-anak muda kita menjadi terlalu bernafsu. Lalu muncullah tendangan-tendangan yang, ibarat main sepak bola, keluar garis. Saya secara pribadi telah menegurnya.
Yus : Apa garis yang membatasi gerak pemikiran-pemikiran itu menurut Kiai?
MFM : Menurut saya garis itu cukup jelas. Berfikirlah maju, wahai anak-anak muda, asal tidak sampai mengharamkan yang secara qath’iy dihalalkan, dan menghalalkan yang secara qath’iy diharamkan (ma lam yuhillu haraman atau yuharrimu halalan). Inilah garis yang saya sendiri pegangi, sesuai sabda Rasulullah SAW riwayat Tirmidzi, Al-muslimun ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman atau harrama halalan. Bahwa ada yang berprasangka, maka mudah-mudahan bisa mengurangi dosa saya. Alhamdulillah! (NU Online)
Yus : Benarkah kebangkitan dunia Islam musti bermula dari Indonesia ?
MFM: Saya meyakini itu. Sadar atau tidak kita ini sedang ditunggu. Sejauh ini, dari berbagai negara Islam di dunia, yang secara lengkap memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpinnya, ya Indonesia.
Yus : Mengapa Indonesia, apa kelebihan-kelebihannya dibanding negara-negara Islam lain?
MFM : Ada banyak faktor unggulan, antara lain: wilayahnya paling luas, letaknya strategis, dengan kekayaan alam yang melimpah dan beraneka, jumlah umat Islamnya terbesar, dan yang tidak kalah penting corak keislamannya yang tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran) terhadap kebhinekaan. Faktor terakhir adalah karakter keislaman Nusantara, keislaman yang dianut dan dihayati oleh NU.
Yus: Kenapa kepemimpinan Indonesia yang penuh potensi itu belum juga muncul?
MFM: Karena NU sebagai juru kuncinya belum sempat menata diri dengan semestinya. Dari waktu ke waktu selalu saja ada pihak yang karena kedengkiannya, terus berusaha meminggirkan NU dan umatnya. Sebagian mereka karena pandangan keagamannya yang picik dan menganggap dirinya yang paling benar, sebagian karena hasrat politik dan kekuasaan yang berlebihan. Lihat selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, NU terus dipinggirkan dan dilumpuhkan, terutama di masa Orba. Padahal semua orang tahu, Orba tidak mungkin hadir tanpa NU. Tapi begitu mereka menata kekuasannya, NU dilumpuhkan, umatnya diintimidasi. Padahal setiap bangsa ini dalam bahaya, NU dan para ulama/ Kiainya selalu tampil di depan untuk menyelamatkannya.
Yus: Bagaimana supaya peran NU bisa dioptimalkan untuk kejayaan NKRI dan kepemimpinannya di dunia Islam?
MFM: Pertama kedengkian dari pihak luar terhadap NU harus diakhiri; baik kedengkian secara teologis maupun politis. Kedua, pihak internal NU sendiri, baik jajaran pemimpin di semua level dan segenap warganya di seluruh pelosok negeri harus berbenah secara super serius. Kita boleh meyakini, apa yang kita anut adalah kebenaran – sekali pun kita tidak boleh takabur dengan mengklaim diri kita satu-satunya yang benar. Kebenaran itu milik Allah semata. Tapi ingat, kata Sayyidina Ali, kebenaran tanpa ”nidham”, gampang dikalahkan oleh kebatilan yang ber-nidham.
Yus: Apa itu nidhom, Kiai?
MFM: Nidhom adalah organisasi dan manajemen. Atau dalam bahasa Rasulullah SAW, kejamaahan kita yang kurang. Padahal hanya dengan kejamaahan, kita bisa mendapatkan kekuatan dari Allah SWT yang luar biasa. Alaikum biljamaah; Yadullah fauqal jamaah/ Kalian wajib berjamaah; Kekuatan Allah hanya dianugerahkan kepada mereka yang mau berjamaah. Wadah kebersamaan (jamaah) itulah yang kita sebut jam’iyah, atau organsiasi.
Yus: Bagaimana kita memperkuatnya?
MFM: Syarat utama dan pertama-tama kita harus sepakat mengenai tujuan bersama dan agenda bersama sebagai Nahdliyin. Ingat tujuan bersama, bukan tujuan perorangan yang yang kebetulan sama. Saya dan anda bisa punya tujuan. Misalnya ke pasar; dengan agenda yang sama, untuk jualan. Apa yang terjadi? Kita tidak harus berangkat bareng, dan di pasar kita bisa saling menjatuhkan. Tujuan bersama adalah agenda untuk kepentingan bersama, yang tidak mungkin dicapai tanpa diusahakan bersama, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Yus: Apa tujuan bersama NU, untuk semua warga NU?
MFM: Tujuan bersama (ghayah ijtimaiyyah/ collective goal) kita sebagai warga Nahdliyin dalam wadah NU adalah ”terwujudnya tatanan masyarakat Islam Indonesia yang maju dan bermartabat sesuai ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang bercirikan tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat) dan i’tidal (lurus).
Yus: Kalau agenda-agenda utamanya?
MFM: Mengacu pada apa yang dipikirkan para pendiri NU ada 4 (empat) agenda besar: Pertama, agenda menjaga integritas dan keutuhan NKRI, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air); Kedua, agenda memajukan ”Pemikiran Keagamaan” yang mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah dan bergerak maju, seperti diinspirasikan oleh gerakan Tashwirul Afkar (Reformulasi Pemikiran Keagamaan); Ketiga, agenda memajukan ”Kesejahteraan umat” dimulai dari yang paling nyata, kesejahteraan ekonomi, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang); Keempat adalah agenda mempertahankan ”Keberislaman yang santun dan kokoh dalam garis moderasi” seperti diinspirasikan oleh missi Komite Hijaz. Memang sasaran tembak Komite Hijaz waktu itu adalah untuk menyangkal gerakan ekstrim kanan Wahabisme-Fundamentalistik. Tapi secara implisit juga koreksi terhadap kecenderungan ekstrim kiri Sekularisme-Liberalistik.
Yus: Bagaimana kiprah NU dengan empat egenda utama itu?
MFM: Kita harus akui dengan jujur, bahwa dari empat agenda itu, baru satu yang berjalan dengan baik, yakni: Agenda mempertahankan keutuhan NKRI. Mungkin karena ini agenda emosional dan fisikal, kita boleh mengklaim yang terbaik dari semua. Baik ketika era revolusi kemerdekaan, ketika ada gangguan separatisme DI/TII, ketika menghadapi G30-S PKI, dan munculnya aksi separatisme belakangan. Tapi tiga agenda lainnya, kita harus akui sangat lemah. Itulah mengapa kita suka mengibaratkan diri lebih sebagai pasukan pendorong mobil mogok. Seluruh tenaga (fisik) kita kerahkan; sesudah itu kita ditingggalkan di jalan. Harus kita sadari bahwa untuk memenangkan ketiga agenda yang selama ini terbengkalai itu, kita butuh kebersamaan yang kokoh dengan dukungan kepemimpinan yang juga solid dari, minimal tiga unsur.
Yus: Siapa saja ketiga unsur yang Kiai maksud?
MFM: Pertama, kalangan profesional terdidik yang memiliki kemampuan dan komitmen pengabdian, sebagai gugus andalan pelayanan umat garda depan, di semua lini; mulai pusat sampai di tingkat kepengurusan akar rumput. Komponen ini akan lebih baik kalau bisa mencapai 70% dari keseluruhan pengurus NU. Komponen kedua, adalah para ulama/ Kiai yang berwawasan kepemimpinan (qiyadah) dan pengayoman (riayah), sebagai jangkar keutuhan serta integritas moral/ akhlaq jam’iyah, mulai dari tingkat paling bawah sampai dengan tingkat teratas. Karena keterbatasan manusia pilihan ini, dengan 25% saja dari keseluruhan kepengurusan kita sudah sangat bersyukur. Komponen ketiga, yang lebih elite dan khawas adalah gugusan awliya sebagai jangkar spiritual jam’iyah; yakni orang-orang suci yang kesibukannya hanya berdoa dan berdoa dengan air mata dalam kesunyian malam agar NU dan bangsa ini tetap dalam perlindungan, bimbingan dan ridlo-Nya. Jika komponen ini ada 5% saja dari gugusan kepemimpinan NU, itu sudah sangat mewah. Bahkan hanya 1% atau 0.01 % pun kita sudah merasa tentram. Karena inilah yang secara mendasar membedakan NU dari ormas lainnya. Tanpa kehadiran dan tangis mereka rasanya apalah bedanya NU dengan lainnya.
Yus: Itu tadi perihal unsur-unsur kepemimpinan NU. Bagaimana dengan jamaahnya, warganya? Kualifikasi apa yang harus mereka miliki?
MFM : Ya, pertama-tama mereka harus faham dan menyadari bahwa mereka adalah warga atau anggota dari sebuah wadah kebersamaan, wadah keumatan yang namanya NU.
Yus: Apakah mereka belum memiliki pemahaman dan kesadaran itu?
MFM : Jangankan mereka, bahkan elite NU sendiri banyak yang belum. Selama ini kita, dan segenap umat yang disebut Nahdliyin kan hanya merasa NU, karena kebetulan menganut amaliyah keagamaan yang sama: qunut, tahlilan, mauludan, dibaan dsb. Dikiranya ber-NU cukup dengan itu. Tahlilan dsb itu tradisi dan amaliyah keagamaan yang sudah ada ratusan tahun sebelum Mbah Hasyim dan Mbah Wahab bikin NU. NU yang dibikin Mbah Hasyim tidak lain adalah organisasi, wadah kebersamaan bagi para pengamal tradisi dimaksud untuk memikul cita-cita bersama dengan empat agenda kolektif yang saya sebutkan tadi. Jadi ber-NU itu tidak cukup hanya dengan tahlil dan dibaan, atau bahkan ngaji kitab kuning, yang kesemuanya adalah agenda perorangan. Memang, pasti bukan NU kalau ngemohi tahlil dan qunut. Tapi meski sudah tahlil dan qunut kalau belum menyatadkan diri bergabung dalam wadah kebersamaan yang bernama NU juga belum bisa disebut warga NU seperti yang dimaksudkan oleh Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Demikian pula baru bisa disebut pengurus NU, kalau yang diurus juga lebih dari sekedar tahlil dan ngaji. Disebut pengurus NU kalau yang diurus adalah empat agenda di atas untuk kepentingan warganya yang secara kultural adalah ahlul qunut wat tahlil.
Yus: Darimana kita musti memulai untuk membangun NU sebagai wadah kebersamaan?
MFM : Pertama kita harus lakukan dakwah secara serentak dari Sabang sampai Merauke, kepada penganut kultur keagaman NU agar secara sadar bergabung dalam wadah jamiyah NU. Untuk itu di semua sekolah, pesantren, mushalla dan masjid-masjid Nahdliyin harus segera dibentuk kepengurusan NU. Kita harus NU-kan warga NU. Yang bukan warga NU jangan diganggu. Jangan kita ikuti akhlak orang-orang yang suka nyerobot kepunyaan orang lain. Kita tidak boleh jahat, dengan mengambil hak orang lain. Tapi kita juga tidak boleh ”bodoh” dengan membiarkan orang lain mengambil hak kita. Ingat kaidah Fiqh, La dloror wa la dlirar.
Yus: Itu pun terkadang tidak gampang
FMF : Di dunia ini tidak ada yang gampang. Tapi ingat, juga tidak ada yang mustahil, kalau kita mau bekerja keras, tidak gampang menyerah. jangan lembek. Man jadda wajada/ Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat. Itu jaminan Allah! Jangan pernah kita meragukannya!
Untuk itu, beri pengertian kepada mereka apa hakikat NU sebagai wadah keumatan. Sebagai organisasi, NU adalah ibarat masjid, masjid virtual (maknawi) yang tidak kasat mata tapi nyata adanya. Bedanya, masjid jasmani yang terbuat dari kayu dan beton adalah tempat kita menunaikan amal saleh perorangan (fardiyah) untuk hablun minallah secara berjamaah; sementara NU sebagai organisasi adalah masjid tempat kita menunaikan amal saleh kolektif (ijtimaiyah) secara berjamaah. Salat saja sebagai agenda perorangan (fardiyah) yang sah dilakukan sendirian, toh kita disuruh berjamah; bagaimana dengan amaliyah kolektif (membangun kejayaan umat) yang tidak mungkin terwujud tanpa kebersamaan? Pastilah jamaah untuk kesalehan sosial jauh lebih diperintahkan dibanding dengan jamaah kesalihan individual. Maka membangun NU sebagai masjid virtual, masjid sosial, bisa lebih besar pahalanya, dibanding membangun masjid material. Dan meramaikan NU sebagai masjid sosial dengan kesalihan sosial, tentunya juga lebih besar keutamaannya, dibanding dengan memakmurkan masjid material dengan kesalihan personal. Sebagai umat Islam yang mengemban cita-cita kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin) mutlak untuk membangun dan memakmurkan kedua masjid tadi.
Yus : Pertanyaan terakhir. Bagaimana komentar Kiai tentang pembaharuan yang didengung- dengungkan kalangan Muda NU.
MFM: Pada dasarnya saya ingin menempatkannya pada agenda Tashwirul Afkar seperti saya singgung di depan. Organisasi keulamaan terbesar di dunia tentunya juga bisa menginspirasi tumbuhnya pemikiran keagamaan yang besar. Tapi, karena tantangan zaman terlalu deras, kelihatannya anak-anak muda kita menjadi terlalu bernafsu. Lalu muncullah tendangan-tendangan yang, ibarat main sepak bola, keluar garis. Saya secara pribadi telah menegurnya.
Yus : Apa garis yang membatasi gerak pemikiran-pemikiran itu menurut Kiai?
MFM : Menurut saya garis itu cukup jelas. Berfikirlah maju, wahai anak-anak muda, asal tidak sampai mengharamkan yang secara qath’iy dihalalkan, dan menghalalkan yang secara qath’iy diharamkan (ma lam yuhillu haraman atau yuharrimu halalan). Inilah garis yang saya sendiri pegangi, sesuai sabda Rasulullah SAW riwayat Tirmidzi, Al-muslimun ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman atau harrama halalan. Bahwa ada yang berprasangka, maka mudah-mudahan bisa mengurangi dosa saya. Alhamdulillah! (NU Online)
KH. Hasyim Muzadi : Saya ingin NU seperti Republik bukan kerajaan
Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar Muktamar ke-32, di Asrama Haji Makassar, Sulawesi Selatan, pada 25-31 Januari 2009. Seperti biasanya, Muktamar selalu menjadi sorotan publik karena posisi NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia. Bagaimana persiapan Muktamar tersebut dan masalah apa saja yang akan dibahas, berikut wawancara Wartawan NU Online, Arief Hidayat, dengan Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu.
Bagaimana persiapan Muktamar dan apa saja yang akan dibahas?
Tema Muktamar kali ini adalah Meningkatkan Khidmah Nahdliyah untuk Indonesia yang Bermartabat. Ada dua hal pokok dari tema tersebut. Pertama, peningkatan kualitas pelayanan terhadap umat. Kedua, mendorong bangsa ini agar mengangkat martabatnya. Untuk mencapai ke sana diperlukan perbaikan internal dan sumbangsih NU yang konkret terhadap bangsa dan negara secara konprehensif.
Agar pelayanan NU kepada umat berhasil, diperlukan pengkondisian awal, yaitu perbaikan struktur dan kualitas struktur. Syuriyah PBNU harus menjadi lembaga tertinggi yang efektif sebagai lembaga tertinggi. Hal ini menyangkut masalah syariat, bimbingan umat, dan pengendali gerak jamiyah. Untuk itu, Syuriyah perlu diisi oleh tenaga yang berkapasitas tinggi, bukan hanya yang ditinggikan.
Misalnya, di Syuriyah harus ada beberapa unsur. Pertama, unsur ahli syariat. Beliaulah yang bertanggung jawab tentang fatwa, bahtsul masail dan ahkamul fuqoha’. Dengan demikian, diperlukan ahli hukum syariat (faqih). Kedua, unsur kiai yang ahli riyadhoh dan tirakat yang dengan bashiroh-nya memberikan bimbingan rohani, doa, dan wirid kepada umat pada saat-saat diperlukan karena kondisi.
Ketiga, perlu ada unsur yang memahami masalah kenegaraan secara utuh dan mendalam. Kalau tidak, hubungan NU dan negara tentu tidak serasi. Akibatnya, NU sulit mewarnai negara, karena hanya akan mendapat akibat dari ekses-ekses politik kenegaraan. Keempat, perlu ada unsur manajemen, sains dan teknologi.
Jika unsur-unsur tersebut bisa dikombinasikan akan menghasilkan lembaga Syuriyah yang berfungsi sebagai lembaga tertingi NU yang efektif.
Apa selama ini belum seperti itu?
Iya dalam wacana, tapi dalam praktik belum optimal. Karena beberapa faktor, seperti jarangnya pertemuan, serta faktor teknis lainnya. Sehingga perlu ada penajaman kembali.
Kemudian, Tanfidziyah harus menjabarkan nilai-nilau luhur NU, serta melaksanakan keputusan-keputusan Syuriyah dalam strategi langkah dan tata laksana teknis. Misalnya, dalam bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, dan politik. Politik di sini tidak dalam arti politik praktis (parpol), tapi moral politik keagamaan, kebangsaan dan keumatan.
Dengan demikian, kombinasi antara keduanya dalam program dan tata kerja, akan mampu meningkatkan pelayanan masyarakat secara komprehensif, seperti pelayanan pendidikan, hukum, ekonomi dan lain-lainnya.
Bagaimana dengan Khittah NU 1926?
Khittah sebagai patokan tidak perlu diubah, namun khusus masalah kebebasan memilih, perlu ukuran-ukuran dalam tata laksananya.
Sebenarnya Khittah terdiri dari tiga bagian penting. Pertama, bagian yang mengatur jatidiri NU. Bahwa NU menganut ajaran Islam Ahslusunnah wal Jamaah. Fikihnya menganut salah satu dari Imam Empat. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam bidang Akidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi. Dalam visi NU dan manhaj perjuangan menggunakan garis moderasi atau wasathiyah, tidak ekstrim (tathorruf), baik ekstrim keras maupun ekstrim lunak. Ekstrim keras menggunakan teror dan formalisasi agama. Di lain pihak, ekstrim lunak melakukan liberalisasi pemikiran agama yang semata-mata yuhakkimuna bi’uqulihim. Padahal, ekstrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar khittah, bahkan bisa keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.
Bagian kedua tentang kemandirian. NU adalah organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apa pun, baik ormas maupun partai. Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula merupakan oposisi terhadap kekuasaan. NU memperkuat yang benar bukan hanya membenarkan yang kuat.
Bagian ketiga, kebebasan menentukan pilihan. Dulu, ketika Khittah dilahirkan tahun 1984, kita hanya memilih satu dari tiga partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai. Selain itu, kita tidak hanya memilih partai, tapi juga memilih orang. Perkembangan ini perlu diperhatikan oleh Muktamar, sehingga kebebasan memilih seimbang dengan tanggung jawab pilihan itu. Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada agama, umat dan Allah.
Saat ini, khittah sedang disalahpahami oleh warga NU sendiri, seakan-seakan khittah yang benar adalah tidak berbuat apa-apa, sehingga membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama Khittah. Sementara, kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak Khittah.
Tentang partai yang berbasis NU, bagaimana?
Idealnya, mayoritas orang NU punya pilihan politik sekalipun tetap membuka kemungkinan kader-kader NU bebas ada di mana-mana. Jadi, ada ‘perahu’ besar dan ada ‘sekoci’. Pikiran ini berkembang di NU tahun 1998. Tetapi perkembangan selanjutnya, terjadi kerenggangan antara umat NU dan partai-partai yang berbasis NU disebabkan karena lemahnya faktor amanah, sistem berpolitik, sistem pengkaderan dan rekrutmen. Kerengangan ini kemudian dimasuki segala partai ke dalam umat nahdliyin. Mereka membawa tawaran pragmatisme sehingga terjadi penyusutan terus menerus dalam volume dan kualitas partai yang berbasis NU.
Dalam hal seperti ini, bagaimana Muktamar menyikapinya, serta mengatur rekomendasi-rekomendasinya. Ataukah sama sekali Muktamar tidak menganggap perlu, sehingga dibiarkan seperti ini, yang insya Allah partai berbasis NU akan semakin kecil.
Lalu, bagaimana sesungguhnya NU menghadapi terorisme?
Teror baru terjadi 10 tahun terakhir. Sebenarnya, sebab utamanya adalah konflik global, yakni terjadinya pertikaian Barat dengan Timteng yang dipicu masalah Israel. Ketika hal tersebut terjadi, Indonesia mengalami euforia reformasi sehingga terjadi demokratisasi dosis tinggi yang merenggangkan batas Indonesia. Sehingga para ekstrimis masuk ke Indonesia dan mereka melawan AS dari Indonesia, dan merusak keamanan Indonesia. Sehingga teror bukan watak domestik Indonesia. Kalaupun ada orang Indonesia terlibat teror, hal tersebut karena dilibatkan dalam jaringan teror internasional.
Dalam hal menangatasi teror tersebut, di skala nasional dengan cara membendung pemikiran ekstrim Islam, mengembangkan garis moderasi NU, bekerja sama dengan ormas Islam moderat, menggandeng kekuatan lintas agama, agar tidak tersulut teror kemudian dikerjasamakan dengan pihak pemerintah dalam unsur intelijen, security (Polri), kewilayahan (Dedagri). Pada penanganan kasus teror masa lalu, terbukti kerja sama ini efektif. Kemudian dalam teror belakangan, koordinasinya kurang mantab.
Dalam skala internasional, NU menggunakan ICIS (International Conference of Islamic Scholars) yang ternyata selama 7 tahun terakhir telah diterima baik oleh dunia internasional, Timur Tengah maupun negara-negara Barat. Bahkan, perkembangan selanjutnya cukup menggembirakan karena ternyata NU diminta hampir seluruh dunia untuk ikut meredakan ketengangan, konflik dan teror. Misalnya, ketegangan di Thailand (konflik muslim, Thailand Selatan dengan pemerintah Thailand), Philipina Selatan (konflik Mindanau), Aljazair (ketegangan Aljazair dan Syahrawi Selatan), Syria (ketika Presiden Syria dituduh pihak Barat terlibat pembunuhan Perdana Menteri Libanon, Hariri), Iran (ketika dihukum oleh PBB karena proyek nuklir, Sudan (ketika Presiden Sudan akan diadili lembaga kriminal internasional), juga Korea Selatan (ketika relawannya disandera oleh gerilyawan di Afganistan), peredaan konflik Sunni-Syiah di Irak (dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional di Bogor tahun 2007), konflik Hamas dan Fatah yang kita mencoba meredakannya bersama Menlu Hasan Wirayuda dan (Almarhum) Ali Alatas di kamp pengungsian Panglima Hamas Khaled Meshal di Damaskus, peredaan konflik Australia dengan Indonesia sebagai akibat kasus Bom Bali. Juga pada ledakan WTC di Amerika Serikat, NU organisasi Islam pertama yang meninjau Ground Zero di New York, dan sebagainya.
Selain melalui ICIS, posisi saya sebagai presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) cukup efektif untuk kerja sama dengan PBB dan agama-agama pada tingkat dunia. PCI (Pengurus Cabang Istimewa) NU di seluruh dunia, juga dapat digunakan untuk memfasalitasi pertemuan-pertemuan antara NU dengan pihak dunia.
Anda menyatakan tidak maju lagi sebagai Ketua Umum PBNU, mengapa?
Sebenarnya pikiran saya untuk tidak maju lagi sebagai ketua umum PBNU telah ada sejak 1 tahun yang lalu. Alasannya, karena saya sudah memimpin NU 10 tahun. Dan, teman-teman lain di belakang saya sudah saatnya menjadi ketua umum.
Kalau sejak setahun lalu, berarti tidak ada kaitannya dengan desakan sejumlah orang yang meminta Anda mundur?
Saya tidak terbiasa mengambil keputusan karena ditekan. Kalau saya mempunyai kebiasaan menyerah karena ditekan, tentu saya tidak akan menjadi Ketua Umum PBNU dua periode dan membawa NU ke dunia yang penuh risiko dan tantangan pada tingkat nasional dan internasional.
Apalagi, saya tahu tekanan-tekanan untuk memundurkan saya adalah bagian dari afonturasi dan kemauan orang luar. Masalahnya adalah tidak baik buat saya untuk menjadi sumbatan perkembangan dari teman-teman saya sendiri, sekaligus membangun kebiasaan demokrasi republik bukan kerajaan.
Kalau ada orang NU bergerak, misal, atas pesanan orang luar, apakah sama dengan melanggar Khittah?
Iya, karena hal tersebut sama dengan menghilangkan prinsip kemandirian sebagai prinsip kedua dari khittah 1984. Kalau masalah coblosan (pemilu) sebenarnya adalah bebas, tapi sering orang mempersoalkan perbedaan yang sah itu. Malah anehnya, kalau saya mendukung calon, kemudian jadi, seperti di Jakarta (Fauzi Bowo), saya dianggap tidak melanggar Khittah. Tapi, di Jawa Timur karena Khofifah tidak jadi, dianggap melanggar Khittah.
Apa harapan Anda terhadap ketua umum PBNU mendatang?
Saya ingin NU berjalan di atas sistem, tidak selera perorangan atau kelompok orang. Maka Muktamar ke-32, harus mampu meletakkan rel untuk NU. Sehingga siapa pun yang memimpin, bukan mengubah haluan, tetapi melanjutkan tahap demi tahap perkembangan NU. Itu baru mungkin terjadi, jika prinsip-prinsip dalam NU diwadahi dalam sistem yang sehat, dijalankan oleh pemimpin yang benar-benar NU, baik secara ideologis, organisatoris, maupun pengabdian masyarakat.
PBNU yang akan datang harus mampu membedakan dalam realita tindakan organisatoris, antara NU dan liberal, serta NU dan ekstrimis, sehingga dapat dibedakan antara pengembagan pemikiran (tanmiyah) dengan pembelokan pemikiran (inkhirof), di samping PBNU harus mampu menjaga kemandirian NU, serta menjaganya dari oportunasi adan avonturisme dari mana pun.
Belakangan ini muncul suara: PBNU tidak berprestasi. Apa komentar Anda?
Saya sering dikritik karena dianggap tidak merawat anak muda. Itu tidak masalah, tetapi pesantren saya itu pesantren mahasiswa yang isinya anak-anak muda. Bagi saya bukan soal tua atau muda, tapi pola pikirnya. Kalau benar, tua atau muda, saya oke. Kalau salah, tua atau muda, saya tidak oke.
Sekarang saya diributi karena saya dianggap tidak berhasil, ya, biarkan saja. Setiap Muktamar itu biasa terjadi. Biasanya yang meributi saya itu tidak jelas prestasinya. Tapi, merasa hebat, seakan-akan orang yang meributi di atas orang yang diributi. Padahal, keahliannya, ya, meributi itu. Sekarang, untuk menunjukkan prestasinya mereka menggunakan sistem “manohara”, yaitu manover dan huru hara. Dengan manohara itu mereka seakan-akan sangat berprestasi, padahal tidak. Pada Muktamar nanti, prestasi PBNU akan dilaporkan semua. Dari situ bisa dinilai, PBNU berprestasi atau tidak.
Dibandingkan lima tahun yang lalu, pendidikan kita sudah lumayan meningkat, sekalipun diukur sebagai kebutuhan masih kurang. Kita sudah punya sekolah unggulan, misalnya, Khodijah di Surabaya. Dalam bidang kesehatan, rumah sakit NU sebenarnya belum cukup, tapi dibanding 5 tahun lalu, peningkatannya sudah 350 persen. Dulu banyak cabang NU yang tidak punya rumah sakit, sekarang banyak sekali.
Kalau tidak menjadi Ketua Umum PBNU, apa Anda akan tetap berjuang untuk NU?
Mengabdi untuk NU tidak selalu harus menjadi pengurus. Saya membuat pesantren itu sama dengan mengabdi untuk NU. Kalau pesantren Al Hikam bisa mengembangkan pemikiran NU ke dunia luar, itu juga sama dengan mengabdi pada NU. Saya ingin Al Hikam, Depok, itu bisa mengembangkan pemikiran NU ke seluruh dunia.
Secara subtansial, mungkin itu sulit dilakukan ketika saya ada di dalam struktur NU. Karena struktur ini terikat dengan berbagai jaringan. Terus terang saja, selama menjadi ketua umum, obsesi saya belum bisa keluar semua, karena khawatir tidak cocok dengan NU. Misal, saya punya sepuluh obsesi, yang keluar mungkin enam dan yang empat disimpan sebagai memori. Saya sebagai ketua umum, seperti supir truk gandeng yang tidak boleh ngebut. Kadang kepala sudah masuk tapi ekornya belum. Karena itu, saya harus hati-hati. Kalau saya tidak jadi ketua umum, saya bisa turun langsung kemudian naik motor tril dan langsung ngepot. Semua obsesi saya yang sepuluh pun secara optimal akan keluar sepuluh.
Misal, saya yang ketua umum PBNU mau menulis tentang hubungan partai dengan negara yang tidak ada standarisasi atau segala macam tulisan, saya bisa dicibir orang. Ketua umum kok seperti itu. Ketika saya tidak menjadi ketua umum, malah bisa.
Saya menjadi pengurus NU sudah 45 tahun, nonstop dan terus menerus. Tahun 1964, saya menjadi ketua GP Ansor Bululawang, Malang, kemudian naik menjadi ketua NU Ranting Bululawang, itu terus di MWC, pengurus cabang, pengurus wilayah hingga ke PBNU. Jadi, saya tidak mungkin tidak berbuat untuk NU hanya karena tidak menjadi pengurus. Efektif atau tidak orang di NU, tidak diukur ada atau tidak di struktur, tapi diukur oleh apa yang ada di kepala orang untuk disampaikan demi kebaikan NU dan umat.
Kira-kira figur yang tepat untuk menggantikan Anda?
Kalau figur, sebaiknya saya tidak bicara. Kalau saya bicara figure, dikira ikut sana atau sini. Kalau kriteria, ya, mereka yang bisa mempertahankan jatidiri NU lalu mengembangkannya sesuai dengan perkembangan tanpa keluar dari akar pemikiran NU.
Dalam AD/ART NU, ada aturan siapa yang berhak mencalonkan diri sebagai calon ketua umum. Kalau ada figur yang tahu-tahu datang untuk menjadi ketua umum, memenuhi syarat atau tidak sebagai calon yang diatur AD/ART. Ini dari segi formal saja, belum dari segi visi dan orientasi agama, serta subtansi perjuangan.
Soal majunya Ulil Abshar, yang selama ini dikenal liberal?
Ya, dicocokkan saja dengan AD/ART. Dia sudah memenuhi syarat untuk maju sebagai ketua umum atau tidak. Siapa yang disebut NU atau tidak itu sudah ada di AD/ART.
Tantangan NU ke depan?
Tantangan yang dihadapi NU ke depan bersifat konprehensif. pertama, tantangan ideologis, kanan dan kiri. Kanan ini ada dua, ada yang bersifat agamis, ada yang agamis politis. Tantangan agamis yaitu banyaknya kelompok-kelompok Islam yang baru. Kalau tantangan yang agamis politis, seperti PKS.
Lalu, kedua, tantangan politis. Masihkah NU mau bermakna politis, meskipun bukan partai politik. Apakah sayap politik yang ada dibenahi atau dibiarkan saja.
Tantangan ketiga, mampukan NU menjaga kemandirian dari kooptasi luar NU. Sebagai organisasi terbesar, tidak mungkin orang lain tidak berkepentingan dengan NU, baik secara nasional maupun internasional. Kepetingan orang lain terhadap NU itu ada tiga macam. Ada yang senang sehingga mendukung, karena faktor moderasinya. Ada yang acuh saja karena memang dipandang tidak bahaya. Ada yang tidak suka karena faktor Islamofobia atau faktor ditakutinya kristalisasi politik yang akan timbul di NU. Yang membentur kepada NU selama ini tiga macam itu.
Apa yang akan dilakukan NU agar bisa menghadang tantangan itu?
Tinggal PW dan PC punya imunitas terhadap intervensi dan kooptasi atau tidak? Saya yakin imunitas itu masih ada. PW dan PC punya tanggung jawab dunia dan akhirat soal selamat atau tidaknya NU. Tanggung jawab itu tidak lagi pada Hasyim Muzadi, pada Muktamar nanti sudah beralih kepada yang punya pilihan, yakni PW dan PC.
Karena itu, saya berharap PW dan PC meneliti betul siapa yang akan dipilih. Sehinga jelas, apakah orang itu jelas mau melanjutkan perjuangan NU, atau menjadi bagian kemauan orang lain yang dimasukkan ke NU. Membedakan ini semua, PW dan PC harus punya kecerdasan, ketelitian dan nurani, karena akan berhadapan dengan “manohara” dan uang.
Di zaman yang pragmatis, “Ketuhanan Yang Maha Esa” bisa kalah dengan “keuangan yang maha kuasa”. Gampangnya, kalau berdasarkan cerita Al-Qur’an, seperti tentara Tholut melawan tentara Jalut di tengah kehausan melewati sebuah sungai. Barang siapa meminum air sungai itu tidak akan kuat melawan Jalut, kecuali hanya membasahi tenggorakan. Ternyata mayoritas mereka minum sebanyak-banyaknya. Akhirnya mayoritas mengatakan, hari ini tidak ada kekuatan kami melawan Jalut dan bala tentaranya. Karenanya, Muktamar ini ada di simpang jalan, apakah NU mampu mempertahankan jati dirinya, atau cukup sekian.[nu online)
Bagaimana persiapan Muktamar dan apa saja yang akan dibahas?
Tema Muktamar kali ini adalah Meningkatkan Khidmah Nahdliyah untuk Indonesia yang Bermartabat. Ada dua hal pokok dari tema tersebut. Pertama, peningkatan kualitas pelayanan terhadap umat. Kedua, mendorong bangsa ini agar mengangkat martabatnya. Untuk mencapai ke sana diperlukan perbaikan internal dan sumbangsih NU yang konkret terhadap bangsa dan negara secara konprehensif.
Agar pelayanan NU kepada umat berhasil, diperlukan pengkondisian awal, yaitu perbaikan struktur dan kualitas struktur. Syuriyah PBNU harus menjadi lembaga tertinggi yang efektif sebagai lembaga tertinggi. Hal ini menyangkut masalah syariat, bimbingan umat, dan pengendali gerak jamiyah. Untuk itu, Syuriyah perlu diisi oleh tenaga yang berkapasitas tinggi, bukan hanya yang ditinggikan.
Misalnya, di Syuriyah harus ada beberapa unsur. Pertama, unsur ahli syariat. Beliaulah yang bertanggung jawab tentang fatwa, bahtsul masail dan ahkamul fuqoha’. Dengan demikian, diperlukan ahli hukum syariat (faqih). Kedua, unsur kiai yang ahli riyadhoh dan tirakat yang dengan bashiroh-nya memberikan bimbingan rohani, doa, dan wirid kepada umat pada saat-saat diperlukan karena kondisi.
Ketiga, perlu ada unsur yang memahami masalah kenegaraan secara utuh dan mendalam. Kalau tidak, hubungan NU dan negara tentu tidak serasi. Akibatnya, NU sulit mewarnai negara, karena hanya akan mendapat akibat dari ekses-ekses politik kenegaraan. Keempat, perlu ada unsur manajemen, sains dan teknologi.
Jika unsur-unsur tersebut bisa dikombinasikan akan menghasilkan lembaga Syuriyah yang berfungsi sebagai lembaga tertingi NU yang efektif.
Apa selama ini belum seperti itu?
Iya dalam wacana, tapi dalam praktik belum optimal. Karena beberapa faktor, seperti jarangnya pertemuan, serta faktor teknis lainnya. Sehingga perlu ada penajaman kembali.
Kemudian, Tanfidziyah harus menjabarkan nilai-nilau luhur NU, serta melaksanakan keputusan-keputusan Syuriyah dalam strategi langkah dan tata laksana teknis. Misalnya, dalam bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, dan politik. Politik di sini tidak dalam arti politik praktis (parpol), tapi moral politik keagamaan, kebangsaan dan keumatan.
Dengan demikian, kombinasi antara keduanya dalam program dan tata kerja, akan mampu meningkatkan pelayanan masyarakat secara komprehensif, seperti pelayanan pendidikan, hukum, ekonomi dan lain-lainnya.
Bagaimana dengan Khittah NU 1926?
Khittah sebagai patokan tidak perlu diubah, namun khusus masalah kebebasan memilih, perlu ukuran-ukuran dalam tata laksananya.
Sebenarnya Khittah terdiri dari tiga bagian penting. Pertama, bagian yang mengatur jatidiri NU. Bahwa NU menganut ajaran Islam Ahslusunnah wal Jamaah. Fikihnya menganut salah satu dari Imam Empat. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam bidang Akidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi. Dalam visi NU dan manhaj perjuangan menggunakan garis moderasi atau wasathiyah, tidak ekstrim (tathorruf), baik ekstrim keras maupun ekstrim lunak. Ekstrim keras menggunakan teror dan formalisasi agama. Di lain pihak, ekstrim lunak melakukan liberalisasi pemikiran agama yang semata-mata yuhakkimuna bi’uqulihim. Padahal, ekstrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar khittah, bahkan bisa keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.
Bagian kedua tentang kemandirian. NU adalah organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apa pun, baik ormas maupun partai. Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula merupakan oposisi terhadap kekuasaan. NU memperkuat yang benar bukan hanya membenarkan yang kuat.
Bagian ketiga, kebebasan menentukan pilihan. Dulu, ketika Khittah dilahirkan tahun 1984, kita hanya memilih satu dari tiga partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai. Selain itu, kita tidak hanya memilih partai, tapi juga memilih orang. Perkembangan ini perlu diperhatikan oleh Muktamar, sehingga kebebasan memilih seimbang dengan tanggung jawab pilihan itu. Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada agama, umat dan Allah.
Saat ini, khittah sedang disalahpahami oleh warga NU sendiri, seakan-seakan khittah yang benar adalah tidak berbuat apa-apa, sehingga membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama Khittah. Sementara, kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak Khittah.
Tentang partai yang berbasis NU, bagaimana?
Idealnya, mayoritas orang NU punya pilihan politik sekalipun tetap membuka kemungkinan kader-kader NU bebas ada di mana-mana. Jadi, ada ‘perahu’ besar dan ada ‘sekoci’. Pikiran ini berkembang di NU tahun 1998. Tetapi perkembangan selanjutnya, terjadi kerenggangan antara umat NU dan partai-partai yang berbasis NU disebabkan karena lemahnya faktor amanah, sistem berpolitik, sistem pengkaderan dan rekrutmen. Kerengangan ini kemudian dimasuki segala partai ke dalam umat nahdliyin. Mereka membawa tawaran pragmatisme sehingga terjadi penyusutan terus menerus dalam volume dan kualitas partai yang berbasis NU.
Dalam hal seperti ini, bagaimana Muktamar menyikapinya, serta mengatur rekomendasi-rekomendasinya. Ataukah sama sekali Muktamar tidak menganggap perlu, sehingga dibiarkan seperti ini, yang insya Allah partai berbasis NU akan semakin kecil.
Lalu, bagaimana sesungguhnya NU menghadapi terorisme?
Teror baru terjadi 10 tahun terakhir. Sebenarnya, sebab utamanya adalah konflik global, yakni terjadinya pertikaian Barat dengan Timteng yang dipicu masalah Israel. Ketika hal tersebut terjadi, Indonesia mengalami euforia reformasi sehingga terjadi demokratisasi dosis tinggi yang merenggangkan batas Indonesia. Sehingga para ekstrimis masuk ke Indonesia dan mereka melawan AS dari Indonesia, dan merusak keamanan Indonesia. Sehingga teror bukan watak domestik Indonesia. Kalaupun ada orang Indonesia terlibat teror, hal tersebut karena dilibatkan dalam jaringan teror internasional.
Dalam hal menangatasi teror tersebut, di skala nasional dengan cara membendung pemikiran ekstrim Islam, mengembangkan garis moderasi NU, bekerja sama dengan ormas Islam moderat, menggandeng kekuatan lintas agama, agar tidak tersulut teror kemudian dikerjasamakan dengan pihak pemerintah dalam unsur intelijen, security (Polri), kewilayahan (Dedagri). Pada penanganan kasus teror masa lalu, terbukti kerja sama ini efektif. Kemudian dalam teror belakangan, koordinasinya kurang mantab.
Dalam skala internasional, NU menggunakan ICIS (International Conference of Islamic Scholars) yang ternyata selama 7 tahun terakhir telah diterima baik oleh dunia internasional, Timur Tengah maupun negara-negara Barat. Bahkan, perkembangan selanjutnya cukup menggembirakan karena ternyata NU diminta hampir seluruh dunia untuk ikut meredakan ketengangan, konflik dan teror. Misalnya, ketegangan di Thailand (konflik muslim, Thailand Selatan dengan pemerintah Thailand), Philipina Selatan (konflik Mindanau), Aljazair (ketegangan Aljazair dan Syahrawi Selatan), Syria (ketika Presiden Syria dituduh pihak Barat terlibat pembunuhan Perdana Menteri Libanon, Hariri), Iran (ketika dihukum oleh PBB karena proyek nuklir, Sudan (ketika Presiden Sudan akan diadili lembaga kriminal internasional), juga Korea Selatan (ketika relawannya disandera oleh gerilyawan di Afganistan), peredaan konflik Sunni-Syiah di Irak (dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional di Bogor tahun 2007), konflik Hamas dan Fatah yang kita mencoba meredakannya bersama Menlu Hasan Wirayuda dan (Almarhum) Ali Alatas di kamp pengungsian Panglima Hamas Khaled Meshal di Damaskus, peredaan konflik Australia dengan Indonesia sebagai akibat kasus Bom Bali. Juga pada ledakan WTC di Amerika Serikat, NU organisasi Islam pertama yang meninjau Ground Zero di New York, dan sebagainya.
Selain melalui ICIS, posisi saya sebagai presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) cukup efektif untuk kerja sama dengan PBB dan agama-agama pada tingkat dunia. PCI (Pengurus Cabang Istimewa) NU di seluruh dunia, juga dapat digunakan untuk memfasalitasi pertemuan-pertemuan antara NU dengan pihak dunia.
Anda menyatakan tidak maju lagi sebagai Ketua Umum PBNU, mengapa?
Sebenarnya pikiran saya untuk tidak maju lagi sebagai ketua umum PBNU telah ada sejak 1 tahun yang lalu. Alasannya, karena saya sudah memimpin NU 10 tahun. Dan, teman-teman lain di belakang saya sudah saatnya menjadi ketua umum.
Kalau sejak setahun lalu, berarti tidak ada kaitannya dengan desakan sejumlah orang yang meminta Anda mundur?
Saya tidak terbiasa mengambil keputusan karena ditekan. Kalau saya mempunyai kebiasaan menyerah karena ditekan, tentu saya tidak akan menjadi Ketua Umum PBNU dua periode dan membawa NU ke dunia yang penuh risiko dan tantangan pada tingkat nasional dan internasional.
Apalagi, saya tahu tekanan-tekanan untuk memundurkan saya adalah bagian dari afonturasi dan kemauan orang luar. Masalahnya adalah tidak baik buat saya untuk menjadi sumbatan perkembangan dari teman-teman saya sendiri, sekaligus membangun kebiasaan demokrasi republik bukan kerajaan.
Kalau ada orang NU bergerak, misal, atas pesanan orang luar, apakah sama dengan melanggar Khittah?
Iya, karena hal tersebut sama dengan menghilangkan prinsip kemandirian sebagai prinsip kedua dari khittah 1984. Kalau masalah coblosan (pemilu) sebenarnya adalah bebas, tapi sering orang mempersoalkan perbedaan yang sah itu. Malah anehnya, kalau saya mendukung calon, kemudian jadi, seperti di Jakarta (Fauzi Bowo), saya dianggap tidak melanggar Khittah. Tapi, di Jawa Timur karena Khofifah tidak jadi, dianggap melanggar Khittah.
Apa harapan Anda terhadap ketua umum PBNU mendatang?
Saya ingin NU berjalan di atas sistem, tidak selera perorangan atau kelompok orang. Maka Muktamar ke-32, harus mampu meletakkan rel untuk NU. Sehingga siapa pun yang memimpin, bukan mengubah haluan, tetapi melanjutkan tahap demi tahap perkembangan NU. Itu baru mungkin terjadi, jika prinsip-prinsip dalam NU diwadahi dalam sistem yang sehat, dijalankan oleh pemimpin yang benar-benar NU, baik secara ideologis, organisatoris, maupun pengabdian masyarakat.
PBNU yang akan datang harus mampu membedakan dalam realita tindakan organisatoris, antara NU dan liberal, serta NU dan ekstrimis, sehingga dapat dibedakan antara pengembagan pemikiran (tanmiyah) dengan pembelokan pemikiran (inkhirof), di samping PBNU harus mampu menjaga kemandirian NU, serta menjaganya dari oportunasi adan avonturisme dari mana pun.
Belakangan ini muncul suara: PBNU tidak berprestasi. Apa komentar Anda?
Saya sering dikritik karena dianggap tidak merawat anak muda. Itu tidak masalah, tetapi pesantren saya itu pesantren mahasiswa yang isinya anak-anak muda. Bagi saya bukan soal tua atau muda, tapi pola pikirnya. Kalau benar, tua atau muda, saya oke. Kalau salah, tua atau muda, saya tidak oke.
Sekarang saya diributi karena saya dianggap tidak berhasil, ya, biarkan saja. Setiap Muktamar itu biasa terjadi. Biasanya yang meributi saya itu tidak jelas prestasinya. Tapi, merasa hebat, seakan-akan orang yang meributi di atas orang yang diributi. Padahal, keahliannya, ya, meributi itu. Sekarang, untuk menunjukkan prestasinya mereka menggunakan sistem “manohara”, yaitu manover dan huru hara. Dengan manohara itu mereka seakan-akan sangat berprestasi, padahal tidak. Pada Muktamar nanti, prestasi PBNU akan dilaporkan semua. Dari situ bisa dinilai, PBNU berprestasi atau tidak.
Dibandingkan lima tahun yang lalu, pendidikan kita sudah lumayan meningkat, sekalipun diukur sebagai kebutuhan masih kurang. Kita sudah punya sekolah unggulan, misalnya, Khodijah di Surabaya. Dalam bidang kesehatan, rumah sakit NU sebenarnya belum cukup, tapi dibanding 5 tahun lalu, peningkatannya sudah 350 persen. Dulu banyak cabang NU yang tidak punya rumah sakit, sekarang banyak sekali.
Kalau tidak menjadi Ketua Umum PBNU, apa Anda akan tetap berjuang untuk NU?
Mengabdi untuk NU tidak selalu harus menjadi pengurus. Saya membuat pesantren itu sama dengan mengabdi untuk NU. Kalau pesantren Al Hikam bisa mengembangkan pemikiran NU ke dunia luar, itu juga sama dengan mengabdi pada NU. Saya ingin Al Hikam, Depok, itu bisa mengembangkan pemikiran NU ke seluruh dunia.
Secara subtansial, mungkin itu sulit dilakukan ketika saya ada di dalam struktur NU. Karena struktur ini terikat dengan berbagai jaringan. Terus terang saja, selama menjadi ketua umum, obsesi saya belum bisa keluar semua, karena khawatir tidak cocok dengan NU. Misal, saya punya sepuluh obsesi, yang keluar mungkin enam dan yang empat disimpan sebagai memori. Saya sebagai ketua umum, seperti supir truk gandeng yang tidak boleh ngebut. Kadang kepala sudah masuk tapi ekornya belum. Karena itu, saya harus hati-hati. Kalau saya tidak jadi ketua umum, saya bisa turun langsung kemudian naik motor tril dan langsung ngepot. Semua obsesi saya yang sepuluh pun secara optimal akan keluar sepuluh.
Misal, saya yang ketua umum PBNU mau menulis tentang hubungan partai dengan negara yang tidak ada standarisasi atau segala macam tulisan, saya bisa dicibir orang. Ketua umum kok seperti itu. Ketika saya tidak menjadi ketua umum, malah bisa.
Saya menjadi pengurus NU sudah 45 tahun, nonstop dan terus menerus. Tahun 1964, saya menjadi ketua GP Ansor Bululawang, Malang, kemudian naik menjadi ketua NU Ranting Bululawang, itu terus di MWC, pengurus cabang, pengurus wilayah hingga ke PBNU. Jadi, saya tidak mungkin tidak berbuat untuk NU hanya karena tidak menjadi pengurus. Efektif atau tidak orang di NU, tidak diukur ada atau tidak di struktur, tapi diukur oleh apa yang ada di kepala orang untuk disampaikan demi kebaikan NU dan umat.
Kira-kira figur yang tepat untuk menggantikan Anda?
Kalau figur, sebaiknya saya tidak bicara. Kalau saya bicara figure, dikira ikut sana atau sini. Kalau kriteria, ya, mereka yang bisa mempertahankan jatidiri NU lalu mengembangkannya sesuai dengan perkembangan tanpa keluar dari akar pemikiran NU.
Dalam AD/ART NU, ada aturan siapa yang berhak mencalonkan diri sebagai calon ketua umum. Kalau ada figur yang tahu-tahu datang untuk menjadi ketua umum, memenuhi syarat atau tidak sebagai calon yang diatur AD/ART. Ini dari segi formal saja, belum dari segi visi dan orientasi agama, serta subtansi perjuangan.
Soal majunya Ulil Abshar, yang selama ini dikenal liberal?
Ya, dicocokkan saja dengan AD/ART. Dia sudah memenuhi syarat untuk maju sebagai ketua umum atau tidak. Siapa yang disebut NU atau tidak itu sudah ada di AD/ART.
Tantangan NU ke depan?
Tantangan yang dihadapi NU ke depan bersifat konprehensif. pertama, tantangan ideologis, kanan dan kiri. Kanan ini ada dua, ada yang bersifat agamis, ada yang agamis politis. Tantangan agamis yaitu banyaknya kelompok-kelompok Islam yang baru. Kalau tantangan yang agamis politis, seperti PKS.
Lalu, kedua, tantangan politis. Masihkah NU mau bermakna politis, meskipun bukan partai politik. Apakah sayap politik yang ada dibenahi atau dibiarkan saja.
Tantangan ketiga, mampukan NU menjaga kemandirian dari kooptasi luar NU. Sebagai organisasi terbesar, tidak mungkin orang lain tidak berkepentingan dengan NU, baik secara nasional maupun internasional. Kepetingan orang lain terhadap NU itu ada tiga macam. Ada yang senang sehingga mendukung, karena faktor moderasinya. Ada yang acuh saja karena memang dipandang tidak bahaya. Ada yang tidak suka karena faktor Islamofobia atau faktor ditakutinya kristalisasi politik yang akan timbul di NU. Yang membentur kepada NU selama ini tiga macam itu.
Apa yang akan dilakukan NU agar bisa menghadang tantangan itu?
Tinggal PW dan PC punya imunitas terhadap intervensi dan kooptasi atau tidak? Saya yakin imunitas itu masih ada. PW dan PC punya tanggung jawab dunia dan akhirat soal selamat atau tidaknya NU. Tanggung jawab itu tidak lagi pada Hasyim Muzadi, pada Muktamar nanti sudah beralih kepada yang punya pilihan, yakni PW dan PC.
Karena itu, saya berharap PW dan PC meneliti betul siapa yang akan dipilih. Sehinga jelas, apakah orang itu jelas mau melanjutkan perjuangan NU, atau menjadi bagian kemauan orang lain yang dimasukkan ke NU. Membedakan ini semua, PW dan PC harus punya kecerdasan, ketelitian dan nurani, karena akan berhadapan dengan “manohara” dan uang.
Di zaman yang pragmatis, “Ketuhanan Yang Maha Esa” bisa kalah dengan “keuangan yang maha kuasa”. Gampangnya, kalau berdasarkan cerita Al-Qur’an, seperti tentara Tholut melawan tentara Jalut di tengah kehausan melewati sebuah sungai. Barang siapa meminum air sungai itu tidak akan kuat melawan Jalut, kecuali hanya membasahi tenggorakan. Ternyata mayoritas mereka minum sebanyak-banyaknya. Akhirnya mayoritas mengatakan, hari ini tidak ada kekuatan kami melawan Jalut dan bala tentaranya. Karenanya, Muktamar ini ada di simpang jalan, apakah NU mampu mempertahankan jati dirinya, atau cukup sekian.[nu online)
KH. Solahudin Wahid : NU Menolak Radikalisme dan Liberalisme
Bulan ini, cukup spesial. Bukan apa-apa, karena ada dua momen tahun baru yakni, tahun baru Hijriah 1431 dan tahun baru Masehi 2010. Sebagai umat Nabi Muhammad saw, kita harus tetap bersemangat dan penuh harapan menyongsong masa depan. Apalagi, pada beberapa bulan ke depan, tiga ormas Islam terbesar di negeri ini akan menggelar Muktamar yakni, NU, Muhammadiyah, dan al-Irsyad al-Islamiyah. Sebagai ormas yang telah eksis sejak NKRI belum terbentuk, momen muktamar adalah ajang kompetisi berbagai tokoh untuk “menguasai” aset umat ini. Dengan berbagai motif dan tujuan, para kandidat mulai kasak-kusuk. Sayangnya, di antara para kandidat itu, khususnya di NU dan Muhammadiyah, muncul tokoh liberal yang juga berambisi menjadi ketua umum. Pada pendulum yang berseberangan, gerakan kaum “Salafi Ekstrem” juga kian meresahkan di tingkat akar rumput.
Untuk menjawab kesiapan NU, sebagai ormas terbesar di tanah air, dalam menghadapi momen muktamar sekaligus mengeliminir kekuatan kaum liberal dan radikal, redaksi SABILI mewawancarai KH Solahuddin Wahid, salah satu cucu pendiri NU, KH Hasyim Ashari.
Wawancara yang berlangsung di kediaman Gus Solah–panggilan akrabnya–di Kawasan Bangka Raya, Jakarta Selatan ini, berlangsung Ahad (6/12/2009).
Berikut petikannya:
Bagaimana kita menyikapi radikalisme dan liberalisme?
Saya pikir, kita kembalikan pemahaman kita pada diri masing-masing. Perbedaan pemahaman adalah keniscayaan. Dalam keluarga saja, antara kakak dan adik, ayah dan ibu, ada perbedaan. Yang penting adalah saling pengertian. Kebenaran itu datang dari Allah. Yang kita pahami tentang Sang Pencipta sangat terbatas. Karena itu, jangan sampai merasa bahwa pemahaman kita paling benar. Kita harus ingat, ada batas-batas yang harus dijaga. Ada penyimpangan, dan ada yang bukan. Yang jelas, ketika menyampaikan pemahaman, tidak boleh menyerang orang lain.
Sekarang, dengan menguatnya arus radikalisme dan liberalisme dalam pemahaman Islam, kita membutuhkan kode etik dakwah. Kalau dulu kita membuat kesepakatan dengan agama lain, bahwa agama yang satu tidak boleh mengganggu agama lainnya, dan sebaliknya. Sekarang, seharusnya juga ada etika agar di antara kita tidak menyerang pemahaman yang berbeda di dalam Islam. silahkan tidak setuju dengan sebuah pendapat atau pemahaman, asal jangan tidak dengan kekerasan. Ini sangat meresahkan. Musuh kita bukan perbedaan pendapat tapi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Seberapa besar kedua pemahaman ini merugikan NU?
Bisa dibayangkan sendiri, 40 persen umat Islam Indonesia adalah NU kultural. Jadi, jika ada pengaruh yang mewarnai seluruh bangsa Indonesia, sudah pasti 40 persennya adalah warga NU. Yang bisa dilakukan oleh NU hanya membentengi warganya dari serangan radikalisme dan liberalisme. Sekarang, gerakan radikal memiliki banyak radio yang mengkafirkan orang lain, kenapa kita tidak punya radio sendiri? Jika tak mampu sebagai alasan, kenapa bisa begitu? Kita mampu kok asal ramai-ramai, tidak ditanggung sendirian. Yang penting, kita memiliki kesadaran bahwa ada masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Beda pendapat di tubuh NU memang ada, tapi apa gunanya. Itu hanya menghabiskan umur dan menambah dosa. Contoh, kita mengkafirkan orang lain, nanti orang lain juga mengkafirkan kita.
Gerakan radikal dan liberal tak bersedia menangani masalah kristenisasi, tapi mereka justru mengacak-acak tubuh umat Islam?
Kita cari pimpinannya. Kita ajak mereka bicara. Pemerintah juga berkewajiban menangani karena mengganggu stabilitas negara. Kita mungkin tak mampu melacak siapa pembesarnya. Tapi intelijen negara pasti mampu. Kemudian ditanya apa maunya? Negara seharusnya juga memikirkan; mengkafirkan sesama Islam apakah ada sanksinya atau tidak? Jika ada, kita bisa menuntut. Karena dalam Islam, hukumnya sudah sangat jelas; jika kita mengkafirkan orang maka yang mengkafirkan itulah yang sebenarnya kafir. Tapi persoalannya, dalam konteks hukum negara, mengkafirkan sesama Islam ada tidak aturannya? ini yang menjadi pertanyaan kita.
Nyatanya, pemerintah justru memberikan angin pada mereka?
Ini sangat berbahaya. Tidak boleh pemerintah melakukan itu. Pemerintah harus menjadi penjaga ketertiban. Beragama itu jelas beribadah, tapi jika kita dikatakan kafir oleh orang yang masih satu agama, jelas ini mengusik hak dasar hidup kita. Karenanya, pemerintah harus segera mengambil tindakan. Pemerintah kurang awas dan tidak memahami bahwa banyak problem di negeri ini. Saat ini, kasus tentang ”Salafi Radikal” ini masih kecil, tapi nanti akan menjadi besar.
Atau, kemungkinannya pemerintah sebenarnya tahu, tapi pemerintah mendekati, memelihara, atau memanfaatkan, sehingga membiarkannya dengan imbalan atau kesepakatan tertentu. Ini kemungkinan, saya tidak bisa memastikan. Tapi faktanya, polisi kekurangan dana operasional, sehingga jika ada kasus yang tidak ada dananya mereka tidak mengurusnya. Polisi lebih menangani kasus yang ada dana operasinya. Kasus pornografi misalnya, justru orang bisnis pornografi yang ngasih duit ke oknum aparat.
Tapi untuk terorisme mereka cepat?
Justru itu, saya kan bingung. Polisi mau mematai-matai pesantren. Apanya yang mau di mata-matai di pesantren, nggak ada apa-apanya kan? Sebetulnya, bagi aparat itu gampang sekali untuk mendeteksi orang-orang yang berpaham radikal. Datang saja ke kelurahan, tanya mana yang pengurus NU, Muhammadiyah, al-Irsyad al-Islamiyah dan lainnya? Mana yang kira-kira ekstrim? Mudah sekali, karena masyarakat sebenarnya juga sudah mengetahui.
Apa NU pernah melakukan pembahasan terhadap radikalisme? Apa solusinya?
Pembahasan ada, tapi tidak ada jalan keluar yang nyata dan terukur. Masing-masing hanya menggerutu karena tidak tahu bagaimana cara mengatasinya, sementara eksesnya sudah dirasakan masyarakat. Terkait dengan ini, saya respek dengan Pak Mansur Suryanegara (Sejarahwan, red). Beliau mengatakan, saya belajar di al-Irsyad tentang bid’ah agar saya hati-hati, tapi saya menghormati orang lain. Ini bagus, ia menerapkan keyakinannya untuk diri sendiri dan tidak berani menghakimi orang lain yang masih seiman.
Apakah mereka masuk transnasional?
Gerakan transnasional itu banyak. Misalnya, wahabi radikal, salafi radikal, termasuk juga liberalisasi pemikiran keagamaan. Jadi, liberalisme keagaamaan juga termasuk gerakan transnasional. Yang harus kita ketahui adalah apa agenda mereka? Yang jelas, gerakan ini sangat membahayakan, karena kalo sudah menyebar, ini semacam operasi. Karenanya, kita harus mengetahui siapa yang menggerakkan semua ini?
Bukankah liberalisasi pemikiran sudah terjadi di tubuh NU?
Bahwa ada pemikiran liberal di NU memang benar. Dari dulu sudah dicontohkan. Misalnya oleh KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Bisri. Mereka adalah kakak dan adik ipar. KH Wahab adalah sosok liberal, tapi liberalnya tidak seperti sekarang. Contoh, sekitar tahun 1950-an saya dan adik, Umar Wahid, naik kereta api bersama KH Wahab dari Jakarta ke Jombang. Baru sampai di Bekasi, KH Wahab sudah membatalkan puasa Ramadhannya.
KH Wahab memakai metode yang paling mudah. Itulah yang kita anggap liberal, tapi tetap ada batasannya, tidak sebebas-bebasnya. Pemakaian akal memang perlu, tapi ada batasnya. Di NU sendiri seperti itu. Saya membatasi diri, karena masalah pemikiran keagamaan adalah kewenangan pengurus Syuriah NU, bukan urusan Tanfidziyah. Saya ingin menjadi Ketua Umum Tanfidziyah yang cakupan kerjanya adalah menjalankan program NU.
Apa sebab berkembangnya pemikiran liberal di NU?
Ini satu keniscayaan. Bahwa kemudian Gus Dur menjadi ketua umum, saya kira itu hanya mempermudah saja. Dulu, santri belajarnya hanya agama Islam saja. Sekarang tidak lagi, mereka belajar ilmu Barat yang mereka dapat dari universitas umum. Jadi tidak dapat dihindari. Ini hanya soal waktu saja. Saya mengetahui kelompok ini. Ada batas-batas yang bisa saya terima dan ada yang saya tolak. Misalnya, saya tidak bisa menerima gugatan mereka terhadap Mushaf Utsmani. Memang benar al-Qur’an disusun pada zaman Khilafah Utsman, tapi saya tidak bisa menerima pandangan mereka yang mengatakan ada yang seharusnya menjadi ayat al-Qur’an tapi tidak dimasukkan, dan sebaliknya. Saya berpendapat, sudah terima saja al-Qur’an yang ada ini, karena al-Qur’an yang ada saat ini lebih dari cukup untuk menjadi pedoman hidup kita secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbernegara, beragama, di dunia dan akhirat.
Bagaimana dengan respon dari gerakan liberal ini?
Jelas ada beberapa pandangan yang merespon gerakan liberal. Seperti Hamid Fahmy Zarkasyi dan Adian Husaini. Di sisi lain ada Nurcholis Setiawan. Masalah mana yang benar itu bukan wewenang saya, pengurus Syuriah NU yang berhak memutuskannya. Jika Ulil Abshar (pentolan Jaringan Islam Liberal, red) memiliki pandangan keagamaan tersendiri sebagaimana Zuhairi Miswari dan Moqsith Ghazali, itu pemikiran mereka pribadi, bukan pemikiran NU secara struktural dan kelembagaan. Secara organisasi dan struktural, pemikiran NU dikeluarkan oleh Syuriah yang disetujui melalui mekanisme Muktamar. Jadi, NU memiliki mekanisme tersendiri dalam menyikapi berkembangnya keragaman pemikiran orang per orang.
Bagaimana cara menyikapi orang yang berpandangan liberal?
Bagi saya, orang liberal tak perlu keluar dari NU, karena mereka pada dasarnya masih dalam proses pencarian. Nanti juga kembali pada pemahaman yang benar. Kita membalas harus dengan pemikiran juga. Belum lama ini, Ulil dan beberapa tokoh liberal NU “diadili” oleh Pemuda NU di Jawa Timur. Dalam diskusi itu, Ulil dan kawan-kawannya tidak bisa merenspon pernyataan-pernyataan Pemuda NU di sana. Kutipan-kutipan mereka, ternyata banyak yang tidak benar. Karenanya, saya mendukung diskusi-diskusi seperti ini, karena nantinya akan menemukan keberan yang hakiki. NU memang mendorong kebebasan mengekspresikan pemikiran kegamaan. Yang penting, pemikiran jangan dilawan dengan otot, tapi lawan dengan pemikiran juga.
Mungkinkah liberalisme dan radikalisme menguasai struktur NU?
Tidak mungkin keduanya akan menguasai NU, apalagi di struktur. Antara yang puritan dengan liberal tidak akan bisa menguasai NU. Saya pikir, jika Ulil mau masuk dan berkompetisi menjadi ketua NU, ya hanya sampai situ saja. Tidak mungkin kader dan pengurus NU memilih dia. Tradisi di dalam NU pasti akan menolak radikalisme dan liberalisme. Bisa masuk ke dalam pengurus saja sudah bagus. Tapi yang jelas, hingga saat ini belum dibuka bursa calon ketua PBNU. Bagi saya, jika ada ambisi menjadi ketua itu bagus. Lebih celaka lagi jika tidak ada yang mencalonkan diri sebagai ketua NU.
Tapi gerakan liberal menguasai media?
Saya pikir tidak juga. Memang mereka adalah penulis handal. Tapi yang menentukan calon ketua PBNU adalah cabang. Agar dapat terpilih sebagai calon ketua harus mendapat persetujuan dan dukungan dari 99 cabang NU.
Memang sulit mendapatkan dukungan 99 cabang?
Oh, sangat sulit. Contoh, saat Muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo, ada 9 orang yang mencalonkan diri. Waktu itu batasnya hanya didukung oleh 40 cabang. Yang memperoleh dukungan lebih dari 40 cabang hanya segelintir saja yakni, Pak Hasyim Muzadi, Said Agiel, dan saya. Lainnya tak sampai angka 40. Di Boyolali, tahun 2004, justru hanya dua kandidat yakni, Pak Masdar dan Pak Hasyim. Sekarang, Pak Hasyim tampaknya mau ke Syuriyah. Sekarang, yang muncul baru 5 sampai 6 nama yakni, Pak Said Agiel, Masdar, Farid, Slamet, Bagja, Ulil, dan saya.
Sebagai calon Ketua NU, apa yang akan Kiai usung untuk membenahi NU?
Saya bersama Pak Slamet dan Pak Masdar sepakat melakukan kegiatan bersama mengunjungi cabang-cabang NU di 33 provinsi. Di situ, kami akan menyampaikan pokok pikiran masing-masing sekaligus menyerap pemikiran mereka tentang masa depan NU. Sampai saat ini sudah kami laksanakan di 8 provinsi. Terakhir di Pontianak. Pekan depan, kami juga akan ke Makasar. Tapi sampai Maret, saat pelaksanaan Muktamar, tidak mungkin kami bisa mencapai 33 propinsi, karena waktunya terbatas. Ini adalah cara baru. Saya berprinsip siapapun yang terpilih sama saja. Kami hanya berlomba-lomba dalam kebaikan, tidak ada kompetisi secara kasar di dalam NU.
Apa yang Kiai sampaikan di cabang-cabang?
Pada kawan-kawan saya sampaikan, NU adalah organisasi besar dan panjang perjalanannya. Ajaran ahlussunnah sendiri sudah ratusan tahun umurnya, tapi baru pada 1926 berbentuk NU. Tahun 1945, NU terlibat aktif mendirikan Negara Indonesia Merdeka dan menyusun UUD. Kemudian, ketika pecah perang untuk mempertahankan kemerdekaan, NU mengeluarkan Resolusi Jihad yang menyerukan kepada pemuda Indonesia untuk berjuang melawan penjajah dan bagi yang terbunuh dalam pertempuran, ulama NU sepakat mereka termasuk dalam katagori syahid.
Selanjutnya, pada masa parlementer, NU juga ikut memperjuangkan terbentuknya Masyumi. Kemudian keluar dan membuat partai sendiri. NU juga aktif melawan PKI. Pada masa Orba, NU masuk PPP, memperjuangkan UU Perkawinan dan UU Pengadilan Agama. Pada era reformasi, NU keluar dari partai politik dan mendirikan mendirikan PKB. Nah, sekarang NU mau apalagi? Ini yang perlu dirumuskan dalam muktamar nanti.
Jadi, yang paling utama diperjuangkan NU saat ini, apa?
NU ini besar, tapi jika tidak bisa memainkan perannya tidak akan terasa kebesarannya. Karenanya, sesuai dengan tantangan kekinian, kegiatan pertama yang harus diagendakan NU adalah memperkuat amal usaha ekonomi, pendidikan, dan sosial. Dibanding Muhammadiyah, jelas NU tertinggal dalam tiga bidang ini, terutama pendidikan tinggi, rumah sakit dan ekonomi.
Kedua, NU harus menjadi unsur utama masyarakat sipil. Dalam negara ada tiga kekuatan yakni: pengelola negara (pemerintah), pengusaha, dan masyarakat sipil. Nah, kekuatan yang terakhir adalah NU karena warga NU mencapai sekitar 40 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jika kekuatan masyarakat sipil tidak didukung oleh NU menjadi kurang kuat. Disinilah NU harus bergerak.
Pada zaman Gus Dur, NU telah membuktikan dirinya menjadi kekuatan utama masyarakat sipil melawan Orba yang otoriter. Karena sekarang sudah tidak otoriter lagi, maka NU tidak perlu melawan pemerintah. NU bukan oposisi, tetapi tetap kritis terhadap pemerintah. Dulu NU memperjuangkan demokrasi politik, sekarang NU harus memperjuangkan demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat.
Ketiga, saat ini NU harus melepaskan diri dari politik praktis dan kekuasaan. Tapi NU harus menerapkan politik kebangsaan, politik keumatan, dan politik kemasyarakatan. Maksudnya adalah jika NU melihat ada produk UU atau produk pemerintah lainnya yang tidak benar, NU harus merespon dan mengoreksi melalui tokoh-tokohnya yang ada di pemerintah dan parlemen, dari partai mana pun. Jadi, sudah bukan zamannya NU terlibat politik praktis.
Apakah tidak ada resistensi, karena jenjang karir setelah ketua ormas adalah kekuasaan politik?
Itu yang harus dilarang. Makanya, saya mengusulkan agar Khittah NU dibidang politik harus diterjemahkan dan dipertegas. Bahwa NU tidak terlibat dalam partai politik manapun. Bahwa NU tidak mendukung calon manapun dalam pilpres atau pilkada. Jika nanti ada tokoh struktural NU yang menjadi calon presiden, calon wapres, atau kandidat dalam pilkada maka harus mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Sekarang, peraturan itu belum ada, makanya terjadi kesimpangsiuran. Bagaimana bisa, calon gubernur Jawa Timur dari NU ada yang jabatan strukturnya masih dipegang, dan ada yang dicopot. Ini kan pilih-kasih. Dulu, ketika saya menjadi cawapres saya mengundurkan diri dari kepengurusan NU, tapi Pak Hasyim tidak. Ini semua harus dibenahi.
Jika terpilih menjadi Ketua NU, apa program utama Kiai?
Saya akan konsentrasi membenahi organisasi dan kaderisasi. Menurut saya, Tanfidziyah itu hanya menjalankan program, tapi wewenang untuk berbicara pemikiran, terorisme, paham keagamaan, dan lainnya menjadi wilayah Syuriyah. Jadi, kebijakan berasal dari Syuriyah, kami yang di Tanfidziyah yang akan menjalankan. Inilah salah satu pembenahan penting di NU. Termasuk cara membuat kader yang baik dan berkarakter. Kader yang saya maksud adalah kader ormas yang bisa berkarya nyata untuk umat, bukan kader politik. (sabili.com)
Data Pribadi:
Nama : KH Ir Solahuddin Wahid
Tempat/Tgl Lahir : Jombang, 11 September 1942
Pendidikan Terakhir : Teknik Arsitektur ITB
Organisasi : Ketua PBNU, Ketua ICMI
Aktivitas : Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang
Pekerjaan : Konsultan Teknik dan Manajemen serta Penulis Lepas
Untuk menjawab kesiapan NU, sebagai ormas terbesar di tanah air, dalam menghadapi momen muktamar sekaligus mengeliminir kekuatan kaum liberal dan radikal, redaksi SABILI mewawancarai KH Solahuddin Wahid, salah satu cucu pendiri NU, KH Hasyim Ashari.
Wawancara yang berlangsung di kediaman Gus Solah–panggilan akrabnya–di Kawasan Bangka Raya, Jakarta Selatan ini, berlangsung Ahad (6/12/2009).
Berikut petikannya:
Bagaimana kita menyikapi radikalisme dan liberalisme?
Saya pikir, kita kembalikan pemahaman kita pada diri masing-masing. Perbedaan pemahaman adalah keniscayaan. Dalam keluarga saja, antara kakak dan adik, ayah dan ibu, ada perbedaan. Yang penting adalah saling pengertian. Kebenaran itu datang dari Allah. Yang kita pahami tentang Sang Pencipta sangat terbatas. Karena itu, jangan sampai merasa bahwa pemahaman kita paling benar. Kita harus ingat, ada batas-batas yang harus dijaga. Ada penyimpangan, dan ada yang bukan. Yang jelas, ketika menyampaikan pemahaman, tidak boleh menyerang orang lain.
Sekarang, dengan menguatnya arus radikalisme dan liberalisme dalam pemahaman Islam, kita membutuhkan kode etik dakwah. Kalau dulu kita membuat kesepakatan dengan agama lain, bahwa agama yang satu tidak boleh mengganggu agama lainnya, dan sebaliknya. Sekarang, seharusnya juga ada etika agar di antara kita tidak menyerang pemahaman yang berbeda di dalam Islam. silahkan tidak setuju dengan sebuah pendapat atau pemahaman, asal jangan tidak dengan kekerasan. Ini sangat meresahkan. Musuh kita bukan perbedaan pendapat tapi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Seberapa besar kedua pemahaman ini merugikan NU?
Bisa dibayangkan sendiri, 40 persen umat Islam Indonesia adalah NU kultural. Jadi, jika ada pengaruh yang mewarnai seluruh bangsa Indonesia, sudah pasti 40 persennya adalah warga NU. Yang bisa dilakukan oleh NU hanya membentengi warganya dari serangan radikalisme dan liberalisme. Sekarang, gerakan radikal memiliki banyak radio yang mengkafirkan orang lain, kenapa kita tidak punya radio sendiri? Jika tak mampu sebagai alasan, kenapa bisa begitu? Kita mampu kok asal ramai-ramai, tidak ditanggung sendirian. Yang penting, kita memiliki kesadaran bahwa ada masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Beda pendapat di tubuh NU memang ada, tapi apa gunanya. Itu hanya menghabiskan umur dan menambah dosa. Contoh, kita mengkafirkan orang lain, nanti orang lain juga mengkafirkan kita.
Gerakan radikal dan liberal tak bersedia menangani masalah kristenisasi, tapi mereka justru mengacak-acak tubuh umat Islam?
Kita cari pimpinannya. Kita ajak mereka bicara. Pemerintah juga berkewajiban menangani karena mengganggu stabilitas negara. Kita mungkin tak mampu melacak siapa pembesarnya. Tapi intelijen negara pasti mampu. Kemudian ditanya apa maunya? Negara seharusnya juga memikirkan; mengkafirkan sesama Islam apakah ada sanksinya atau tidak? Jika ada, kita bisa menuntut. Karena dalam Islam, hukumnya sudah sangat jelas; jika kita mengkafirkan orang maka yang mengkafirkan itulah yang sebenarnya kafir. Tapi persoalannya, dalam konteks hukum negara, mengkafirkan sesama Islam ada tidak aturannya? ini yang menjadi pertanyaan kita.
Nyatanya, pemerintah justru memberikan angin pada mereka?
Ini sangat berbahaya. Tidak boleh pemerintah melakukan itu. Pemerintah harus menjadi penjaga ketertiban. Beragama itu jelas beribadah, tapi jika kita dikatakan kafir oleh orang yang masih satu agama, jelas ini mengusik hak dasar hidup kita. Karenanya, pemerintah harus segera mengambil tindakan. Pemerintah kurang awas dan tidak memahami bahwa banyak problem di negeri ini. Saat ini, kasus tentang ”Salafi Radikal” ini masih kecil, tapi nanti akan menjadi besar.
Atau, kemungkinannya pemerintah sebenarnya tahu, tapi pemerintah mendekati, memelihara, atau memanfaatkan, sehingga membiarkannya dengan imbalan atau kesepakatan tertentu. Ini kemungkinan, saya tidak bisa memastikan. Tapi faktanya, polisi kekurangan dana operasional, sehingga jika ada kasus yang tidak ada dananya mereka tidak mengurusnya. Polisi lebih menangani kasus yang ada dana operasinya. Kasus pornografi misalnya, justru orang bisnis pornografi yang ngasih duit ke oknum aparat.
Tapi untuk terorisme mereka cepat?
Justru itu, saya kan bingung. Polisi mau mematai-matai pesantren. Apanya yang mau di mata-matai di pesantren, nggak ada apa-apanya kan? Sebetulnya, bagi aparat itu gampang sekali untuk mendeteksi orang-orang yang berpaham radikal. Datang saja ke kelurahan, tanya mana yang pengurus NU, Muhammadiyah, al-Irsyad al-Islamiyah dan lainnya? Mana yang kira-kira ekstrim? Mudah sekali, karena masyarakat sebenarnya juga sudah mengetahui.
Apa NU pernah melakukan pembahasan terhadap radikalisme? Apa solusinya?
Pembahasan ada, tapi tidak ada jalan keluar yang nyata dan terukur. Masing-masing hanya menggerutu karena tidak tahu bagaimana cara mengatasinya, sementara eksesnya sudah dirasakan masyarakat. Terkait dengan ini, saya respek dengan Pak Mansur Suryanegara (Sejarahwan, red). Beliau mengatakan, saya belajar di al-Irsyad tentang bid’ah agar saya hati-hati, tapi saya menghormati orang lain. Ini bagus, ia menerapkan keyakinannya untuk diri sendiri dan tidak berani menghakimi orang lain yang masih seiman.
Apakah mereka masuk transnasional?
Gerakan transnasional itu banyak. Misalnya, wahabi radikal, salafi radikal, termasuk juga liberalisasi pemikiran keagamaan. Jadi, liberalisme keagaamaan juga termasuk gerakan transnasional. Yang harus kita ketahui adalah apa agenda mereka? Yang jelas, gerakan ini sangat membahayakan, karena kalo sudah menyebar, ini semacam operasi. Karenanya, kita harus mengetahui siapa yang menggerakkan semua ini?
Bukankah liberalisasi pemikiran sudah terjadi di tubuh NU?
Bahwa ada pemikiran liberal di NU memang benar. Dari dulu sudah dicontohkan. Misalnya oleh KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Bisri. Mereka adalah kakak dan adik ipar. KH Wahab adalah sosok liberal, tapi liberalnya tidak seperti sekarang. Contoh, sekitar tahun 1950-an saya dan adik, Umar Wahid, naik kereta api bersama KH Wahab dari Jakarta ke Jombang. Baru sampai di Bekasi, KH Wahab sudah membatalkan puasa Ramadhannya.
KH Wahab memakai metode yang paling mudah. Itulah yang kita anggap liberal, tapi tetap ada batasannya, tidak sebebas-bebasnya. Pemakaian akal memang perlu, tapi ada batasnya. Di NU sendiri seperti itu. Saya membatasi diri, karena masalah pemikiran keagamaan adalah kewenangan pengurus Syuriah NU, bukan urusan Tanfidziyah. Saya ingin menjadi Ketua Umum Tanfidziyah yang cakupan kerjanya adalah menjalankan program NU.
Apa sebab berkembangnya pemikiran liberal di NU?
Ini satu keniscayaan. Bahwa kemudian Gus Dur menjadi ketua umum, saya kira itu hanya mempermudah saja. Dulu, santri belajarnya hanya agama Islam saja. Sekarang tidak lagi, mereka belajar ilmu Barat yang mereka dapat dari universitas umum. Jadi tidak dapat dihindari. Ini hanya soal waktu saja. Saya mengetahui kelompok ini. Ada batas-batas yang bisa saya terima dan ada yang saya tolak. Misalnya, saya tidak bisa menerima gugatan mereka terhadap Mushaf Utsmani. Memang benar al-Qur’an disusun pada zaman Khilafah Utsman, tapi saya tidak bisa menerima pandangan mereka yang mengatakan ada yang seharusnya menjadi ayat al-Qur’an tapi tidak dimasukkan, dan sebaliknya. Saya berpendapat, sudah terima saja al-Qur’an yang ada ini, karena al-Qur’an yang ada saat ini lebih dari cukup untuk menjadi pedoman hidup kita secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbernegara, beragama, di dunia dan akhirat.
Bagaimana dengan respon dari gerakan liberal ini?
Jelas ada beberapa pandangan yang merespon gerakan liberal. Seperti Hamid Fahmy Zarkasyi dan Adian Husaini. Di sisi lain ada Nurcholis Setiawan. Masalah mana yang benar itu bukan wewenang saya, pengurus Syuriah NU yang berhak memutuskannya. Jika Ulil Abshar (pentolan Jaringan Islam Liberal, red) memiliki pandangan keagamaan tersendiri sebagaimana Zuhairi Miswari dan Moqsith Ghazali, itu pemikiran mereka pribadi, bukan pemikiran NU secara struktural dan kelembagaan. Secara organisasi dan struktural, pemikiran NU dikeluarkan oleh Syuriah yang disetujui melalui mekanisme Muktamar. Jadi, NU memiliki mekanisme tersendiri dalam menyikapi berkembangnya keragaman pemikiran orang per orang.
Bagaimana cara menyikapi orang yang berpandangan liberal?
Bagi saya, orang liberal tak perlu keluar dari NU, karena mereka pada dasarnya masih dalam proses pencarian. Nanti juga kembali pada pemahaman yang benar. Kita membalas harus dengan pemikiran juga. Belum lama ini, Ulil dan beberapa tokoh liberal NU “diadili” oleh Pemuda NU di Jawa Timur. Dalam diskusi itu, Ulil dan kawan-kawannya tidak bisa merenspon pernyataan-pernyataan Pemuda NU di sana. Kutipan-kutipan mereka, ternyata banyak yang tidak benar. Karenanya, saya mendukung diskusi-diskusi seperti ini, karena nantinya akan menemukan keberan yang hakiki. NU memang mendorong kebebasan mengekspresikan pemikiran kegamaan. Yang penting, pemikiran jangan dilawan dengan otot, tapi lawan dengan pemikiran juga.
Mungkinkah liberalisme dan radikalisme menguasai struktur NU?
Tidak mungkin keduanya akan menguasai NU, apalagi di struktur. Antara yang puritan dengan liberal tidak akan bisa menguasai NU. Saya pikir, jika Ulil mau masuk dan berkompetisi menjadi ketua NU, ya hanya sampai situ saja. Tidak mungkin kader dan pengurus NU memilih dia. Tradisi di dalam NU pasti akan menolak radikalisme dan liberalisme. Bisa masuk ke dalam pengurus saja sudah bagus. Tapi yang jelas, hingga saat ini belum dibuka bursa calon ketua PBNU. Bagi saya, jika ada ambisi menjadi ketua itu bagus. Lebih celaka lagi jika tidak ada yang mencalonkan diri sebagai ketua NU.
Tapi gerakan liberal menguasai media?
Saya pikir tidak juga. Memang mereka adalah penulis handal. Tapi yang menentukan calon ketua PBNU adalah cabang. Agar dapat terpilih sebagai calon ketua harus mendapat persetujuan dan dukungan dari 99 cabang NU.
Memang sulit mendapatkan dukungan 99 cabang?
Oh, sangat sulit. Contoh, saat Muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo, ada 9 orang yang mencalonkan diri. Waktu itu batasnya hanya didukung oleh 40 cabang. Yang memperoleh dukungan lebih dari 40 cabang hanya segelintir saja yakni, Pak Hasyim Muzadi, Said Agiel, dan saya. Lainnya tak sampai angka 40. Di Boyolali, tahun 2004, justru hanya dua kandidat yakni, Pak Masdar dan Pak Hasyim. Sekarang, Pak Hasyim tampaknya mau ke Syuriyah. Sekarang, yang muncul baru 5 sampai 6 nama yakni, Pak Said Agiel, Masdar, Farid, Slamet, Bagja, Ulil, dan saya.
Sebagai calon Ketua NU, apa yang akan Kiai usung untuk membenahi NU?
Saya bersama Pak Slamet dan Pak Masdar sepakat melakukan kegiatan bersama mengunjungi cabang-cabang NU di 33 provinsi. Di situ, kami akan menyampaikan pokok pikiran masing-masing sekaligus menyerap pemikiran mereka tentang masa depan NU. Sampai saat ini sudah kami laksanakan di 8 provinsi. Terakhir di Pontianak. Pekan depan, kami juga akan ke Makasar. Tapi sampai Maret, saat pelaksanaan Muktamar, tidak mungkin kami bisa mencapai 33 propinsi, karena waktunya terbatas. Ini adalah cara baru. Saya berprinsip siapapun yang terpilih sama saja. Kami hanya berlomba-lomba dalam kebaikan, tidak ada kompetisi secara kasar di dalam NU.
Apa yang Kiai sampaikan di cabang-cabang?
Pada kawan-kawan saya sampaikan, NU adalah organisasi besar dan panjang perjalanannya. Ajaran ahlussunnah sendiri sudah ratusan tahun umurnya, tapi baru pada 1926 berbentuk NU. Tahun 1945, NU terlibat aktif mendirikan Negara Indonesia Merdeka dan menyusun UUD. Kemudian, ketika pecah perang untuk mempertahankan kemerdekaan, NU mengeluarkan Resolusi Jihad yang menyerukan kepada pemuda Indonesia untuk berjuang melawan penjajah dan bagi yang terbunuh dalam pertempuran, ulama NU sepakat mereka termasuk dalam katagori syahid.
Selanjutnya, pada masa parlementer, NU juga ikut memperjuangkan terbentuknya Masyumi. Kemudian keluar dan membuat partai sendiri. NU juga aktif melawan PKI. Pada masa Orba, NU masuk PPP, memperjuangkan UU Perkawinan dan UU Pengadilan Agama. Pada era reformasi, NU keluar dari partai politik dan mendirikan mendirikan PKB. Nah, sekarang NU mau apalagi? Ini yang perlu dirumuskan dalam muktamar nanti.
Jadi, yang paling utama diperjuangkan NU saat ini, apa?
NU ini besar, tapi jika tidak bisa memainkan perannya tidak akan terasa kebesarannya. Karenanya, sesuai dengan tantangan kekinian, kegiatan pertama yang harus diagendakan NU adalah memperkuat amal usaha ekonomi, pendidikan, dan sosial. Dibanding Muhammadiyah, jelas NU tertinggal dalam tiga bidang ini, terutama pendidikan tinggi, rumah sakit dan ekonomi.
Kedua, NU harus menjadi unsur utama masyarakat sipil. Dalam negara ada tiga kekuatan yakni: pengelola negara (pemerintah), pengusaha, dan masyarakat sipil. Nah, kekuatan yang terakhir adalah NU karena warga NU mencapai sekitar 40 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jika kekuatan masyarakat sipil tidak didukung oleh NU menjadi kurang kuat. Disinilah NU harus bergerak.
Pada zaman Gus Dur, NU telah membuktikan dirinya menjadi kekuatan utama masyarakat sipil melawan Orba yang otoriter. Karena sekarang sudah tidak otoriter lagi, maka NU tidak perlu melawan pemerintah. NU bukan oposisi, tetapi tetap kritis terhadap pemerintah. Dulu NU memperjuangkan demokrasi politik, sekarang NU harus memperjuangkan demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat.
Ketiga, saat ini NU harus melepaskan diri dari politik praktis dan kekuasaan. Tapi NU harus menerapkan politik kebangsaan, politik keumatan, dan politik kemasyarakatan. Maksudnya adalah jika NU melihat ada produk UU atau produk pemerintah lainnya yang tidak benar, NU harus merespon dan mengoreksi melalui tokoh-tokohnya yang ada di pemerintah dan parlemen, dari partai mana pun. Jadi, sudah bukan zamannya NU terlibat politik praktis.
Apakah tidak ada resistensi, karena jenjang karir setelah ketua ormas adalah kekuasaan politik?
Itu yang harus dilarang. Makanya, saya mengusulkan agar Khittah NU dibidang politik harus diterjemahkan dan dipertegas. Bahwa NU tidak terlibat dalam partai politik manapun. Bahwa NU tidak mendukung calon manapun dalam pilpres atau pilkada. Jika nanti ada tokoh struktural NU yang menjadi calon presiden, calon wapres, atau kandidat dalam pilkada maka harus mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Sekarang, peraturan itu belum ada, makanya terjadi kesimpangsiuran. Bagaimana bisa, calon gubernur Jawa Timur dari NU ada yang jabatan strukturnya masih dipegang, dan ada yang dicopot. Ini kan pilih-kasih. Dulu, ketika saya menjadi cawapres saya mengundurkan diri dari kepengurusan NU, tapi Pak Hasyim tidak. Ini semua harus dibenahi.
Jika terpilih menjadi Ketua NU, apa program utama Kiai?
Saya akan konsentrasi membenahi organisasi dan kaderisasi. Menurut saya, Tanfidziyah itu hanya menjalankan program, tapi wewenang untuk berbicara pemikiran, terorisme, paham keagamaan, dan lainnya menjadi wilayah Syuriyah. Jadi, kebijakan berasal dari Syuriyah, kami yang di Tanfidziyah yang akan menjalankan. Inilah salah satu pembenahan penting di NU. Termasuk cara membuat kader yang baik dan berkarakter. Kader yang saya maksud adalah kader ormas yang bisa berkarya nyata untuk umat, bukan kader politik. (sabili.com)
Data Pribadi:
Nama : KH Ir Solahuddin Wahid
Tempat/Tgl Lahir : Jombang, 11 September 1942
Pendidikan Terakhir : Teknik Arsitektur ITB
Organisasi : Ketua PBNU, Ketua ICMI
Aktivitas : Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang
Pekerjaan : Konsultan Teknik dan Manajemen serta Penulis Lepas
KH. Masdar Farid Mas'udi : Mengapa perlu berorganisasi NU?
Banyak diantara kita umat Islam Indonesia sudah mengamalkan berbagai tradisi keagamaan yang indentik dengan jamaah Nahdliyin (warga NU). Sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan ibu kita aktif menjalankan tahlilan, solawatan, dan sebagainya; sampai ketika dikuburkan dengan talqin. Apakah ini masih kurang NU? Kenapa kita masih butuh berjamiyyah atau aktif dalam organisasi NU?
Berikut ini adalah wawancara Yusuf Suharto dari NU Online dengan KH Masdar Farid Mas’udi, salah seorang ketua PBNU yang gencar memompa semangat kita untuk menguatkan basis keorganisasian NU. Wawancara berlangsung di Pondok
Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta, Kamis 2 April 2009 di sela acara Halaqah Nasional Alim Ulama NU bertema ”Etika Politik dan Visi Kebangsaan Khittah NU”.
Saya sudah menjalankan ubudiyah ala NU, kenapa saya masih harus aktif berorganiasasi NU?
Memang anda sudah sangat NU. Tapi itu baru secara kultural dalam tradisi keagamannya, dalam ber-habllun minallah. Sementara secara struktural atau organisatoris belum. Organisasi adalah konsep formal, harus ada bukti hitam di atas putih, minimal pernyatan lisan. Seseorang disebut sebagai pengurus organisasi mesti ada SK, minimal pernyatan lisan dari yang berwenang mengangkat. Demikian pula menjadi warga organisasi, harus ada bukti terdaftar dalam registrasi anggota, minimal pernyataan lisan kepada yang berwenang (pengurus). Dengan demiikian, setiap organisasi harus dapat membuktikan, siapa-siapa pengurusnya dan siapa berapa jumlah warganya, secara formal atau tertulis. Tidak bisa hanya klaim.
Barangkali ini kritik untuk NU secara organisatoris?
Ya itulah kualitas organisasi kita. Meskipun sudah 80 tahun lebih masih jauh dari memadai untuk disebut organsiasi. Organisasi itu ibarat kendaraan, muatannya adalah program dan impian-impian. Tanpa organisasi yang kuat, konsep program sehebat apa pun hanya omong kosong.
Tapi perlu dijelaskan lebih lugas, apa perlunya kita ber-NU secara organisatoris?
Seperti pernah saya katakan, NU sebagai organisasi adalah ibarat masjid, masjid virtual (maknawiy), secara fisik tidak tampak, tapi secara sosial nyata adanya. Dalam pengertian ini, NU adalah tempat dimana kita Nahdliyin melakukan amal shalih secara berjamaah. Bedanya dalam masjid fisik-materil amal shalih yang kita jamaahkan bersifat persional (fardiyah- hablum minallah, seperti shalat); dalam masjid virtual berupa oragnisasi NU amal saleh yang kita jamaahkan adalah amal shalih sosial (ijtimaiyah - hablun minannas) yang wujud utamanya ada dua, yakni kesediaan menjunjung tinggi kesepakatan atau keputusan bersama dan kesetiaan membayar infak sesuai ketentuan, betapa pun kecilnya.
Jadi berorganisasi merupakan keharusan?
Ya. Sabda Nabi: ’Alaikum bil jamaah' (Hendaklah kalian selalu berjamaah), tidak hanya perintah untuk shalat jamaah di masjid fisikal, tapi untuk amal saleh dalam masjid virtual, yakni organisasi. Bukankah shalat berjamaah tidak lain artinya adalah shalat secara terorganisir. Rukun organisasi ada 4 perkara: Pertama ada makmum atau warga; Kedua ada imam, pemimpin atau pengurus; Ketiga ada tujuan bersama; Keempat ada aturan main yang ditaati oleh semua. Ber-amal secara berjamaah dalam wadah NU, sama saja dengan shalat secara berjamaah di masjid, pahalanya berlipat.
Bagaimana dengan yang tidak terlalu berharap pahala?
Kalau begitu saya coba yakinkan dengan argumen lain. Bukan naqliy, tapi aqliy, nalar empirik saja. Begini: Beroraganisasi atau berjamaah itu mutlak penting karena tidak mungkin manusia hidup tanpa kebersamaan dengan orang lain. Ada tiga trilogi kebersamaan: dari, bersama dan untuk orang lain. Pertama manusia tidak mungkin lahir di dunia jika tidak dari sesama jenis manusia. Tidak ada mansuia lahir dari kambing atau monyet.
Kedua, untuk bisa tumbuh menjadi manusia, anda harus bersama manusia lain. Meski terlahir sebagai manusia, tapi jika sehari-hari hidup hanya dengan orang utan, meskipun secara fisik tetap manusia tapi jiwanya orang utan. Manusia itu anak lingkungannya. Hidup sama orang jahat bisa terbawa jahat, sama orang-orang baik bisa terbawa menjadi baik.
Ketiga, puncaknya, kalau anda ingin menjadi manusia mulia dan terpuji, anda musti hidup untuk mansuia lain. Semakin besar amal dan kiprah anda untuk sesama, semakin mulia dan terpujilah anda sebagai manusia. Organsiasi adalah sebaik-baik ruang dimana anda bisa hidup bersama dan berbuat untuk orang lain. Dalam kaitan inilah Mbah Hasyim (KH Hasyim Asy'ari) pernah wanti-wanti kepada orang-orang yang aktif di NU, sebagai anggota dan terutama sebagai pengurus: "Hidup-hidupilah NU jangan mencari hidup dari NU!"
Banyak di kalangan kita yang justru lebih memilih hidup dan bertindak secara sendiri-sendiri, dengan berbagai alasan tentunya.
Benar sekali! Karena sesungguhnya, ruh berorganisasi, meminjam bahasa Nahwu dan Tasawuf, adalah keikhklasan untuk meleburkan ke-aku-an (ananiyah) ke dalam ke-kita-an (nahnuwiyah). Organisasi apa pun tidak akan pernah berjalan sehat, kalau masing-masing komponennya masih mempertahankan ke-aku-annya.
Ambil sebuah misal. Kita menghadapi persoalan bus mogok karena aki tekor, yang jika didorong oleh 10 orang saja secara berjamah, pasti jalan. Sementara kita bukan hanya punya 10 orang, tapi 10 ribu bahkan 10 juta bahkan lebih banyak lagi. Namun mendorongnya sendiri-sendiri. Atau ada yang berjamaah tapi hanya 3 orang. Maka sampai kiamat juga tidak bisa jalan itu bus.
Bandingkan dengan kelompok lain yang warganya hanya pas-pasan 10 orang dan mereka mau berjamah, maka jalanlah mobil itu. Inilah rahasia firman Allah SWT: Begitu banyak kelompok kecil bisa mengalahkan kekuatan kelompok besar karena izin Allah, yakni berjamaah. Rasulullah SAW juga senada: Yadullah fauqal jamaah (Kekuatan Allah SWT yang pasti luar biasa hanya dianugerahkan kepada mereka yang ikhklas berjamaah). Kita pandai mengkhutbahkannya tapi tidak mengamalkannya.
Jadi jika segenap Nahdliyin dengan ikhlas bergabung dalam NU pasti luar biasa kekuatan kita?
Betul, kalau itu terjadi, pastilah NU menjadi berkah luar biasa bagi umat dan bangsa ini. Mari kita buat itung-itungan sederhana saja. Ambil 50 juta Nahdliyin, setiap hari infak dengan uang yang untuk beli sebiji kerupuk pun tidak dapat: Rp 350/ orang, berarti Rp 10.000 perbulan perorang. Maka total perbulan bisa dihimpun dana: Rp. 500.000.000.000 (baca: Rp 500 milyar). Artinya dalam waktu 1 bulan saja NU bisa bangun/ renovasi 500 kantor masing-masing seharga 1 milyar rupiah. Dan setahun NU bisa bangun / renovasi 6000 gedung sekolahan/ balai pengobatan/ pemondokan santri masing-masing seharga 1 milyar.
Kenapa itu tidak pernah terjadi selama ini?
Itu persoalan organisasi dan manajeman, kelemahan terparah kita, yang kita tidak mau menyadarinya selama ini. Dan ini bukan teori kosong. Lihat, organsiasi-organisasi keumatan yang lain, muslim maupun non-muslim yang jumlah umatnya jauh lebih sedikit, mereka telah menggarapnya sejak lama dengan keberhasilan luar biasa. Maka meskipun jumlah umatnya jauh di bawah kita, mereka telah bisa berbuat sangat banyak. Percayalah kita pasti bisa, asal kita serius membenahi organisasi.
Sementara ini memang kita belum bisa mandiri
Biarlah itu menjadi masa lalu. Tanggungjawab kita semua kaum Nahdliyin untuk membebaskan NU dari kebiasaan seperti itu. NU adalah masjid luar biasa agung, tempat jutaan Nahdliyin (seharusnya) beramal saleh secara berjamaah, jangan pernah lagi kita rendahkan. Kewajiban kita segenap Nahdliyin untuk memakmurkannya bagi kejayaan uumat dan bangsa. *** (nu.or.id)
Berikut ini adalah wawancara Yusuf Suharto dari NU Online dengan KH Masdar Farid Mas’udi, salah seorang ketua PBNU yang gencar memompa semangat kita untuk menguatkan basis keorganisasian NU. Wawancara berlangsung di Pondok
Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta, Kamis 2 April 2009 di sela acara Halaqah Nasional Alim Ulama NU bertema ”Etika Politik dan Visi Kebangsaan Khittah NU”.
Saya sudah menjalankan ubudiyah ala NU, kenapa saya masih harus aktif berorganiasasi NU?
Memang anda sudah sangat NU. Tapi itu baru secara kultural dalam tradisi keagamannya, dalam ber-habllun minallah. Sementara secara struktural atau organisatoris belum. Organisasi adalah konsep formal, harus ada bukti hitam di atas putih, minimal pernyatan lisan. Seseorang disebut sebagai pengurus organisasi mesti ada SK, minimal pernyatan lisan dari yang berwenang mengangkat. Demikian pula menjadi warga organisasi, harus ada bukti terdaftar dalam registrasi anggota, minimal pernyataan lisan kepada yang berwenang (pengurus). Dengan demiikian, setiap organisasi harus dapat membuktikan, siapa-siapa pengurusnya dan siapa berapa jumlah warganya, secara formal atau tertulis. Tidak bisa hanya klaim.
Barangkali ini kritik untuk NU secara organisatoris?
Ya itulah kualitas organisasi kita. Meskipun sudah 80 tahun lebih masih jauh dari memadai untuk disebut organsiasi. Organisasi itu ibarat kendaraan, muatannya adalah program dan impian-impian. Tanpa organisasi yang kuat, konsep program sehebat apa pun hanya omong kosong.
Tapi perlu dijelaskan lebih lugas, apa perlunya kita ber-NU secara organisatoris?
Seperti pernah saya katakan, NU sebagai organisasi adalah ibarat masjid, masjid virtual (maknawiy), secara fisik tidak tampak, tapi secara sosial nyata adanya. Dalam pengertian ini, NU adalah tempat dimana kita Nahdliyin melakukan amal shalih secara berjamaah. Bedanya dalam masjid fisik-materil amal shalih yang kita jamaahkan bersifat persional (fardiyah- hablum minallah, seperti shalat); dalam masjid virtual berupa oragnisasi NU amal saleh yang kita jamaahkan adalah amal shalih sosial (ijtimaiyah - hablun minannas) yang wujud utamanya ada dua, yakni kesediaan menjunjung tinggi kesepakatan atau keputusan bersama dan kesetiaan membayar infak sesuai ketentuan, betapa pun kecilnya.
Jadi berorganisasi merupakan keharusan?
Ya. Sabda Nabi: ’Alaikum bil jamaah' (Hendaklah kalian selalu berjamaah), tidak hanya perintah untuk shalat jamaah di masjid fisikal, tapi untuk amal saleh dalam masjid virtual, yakni organisasi. Bukankah shalat berjamaah tidak lain artinya adalah shalat secara terorganisir. Rukun organisasi ada 4 perkara: Pertama ada makmum atau warga; Kedua ada imam, pemimpin atau pengurus; Ketiga ada tujuan bersama; Keempat ada aturan main yang ditaati oleh semua. Ber-amal secara berjamaah dalam wadah NU, sama saja dengan shalat secara berjamaah di masjid, pahalanya berlipat.
Bagaimana dengan yang tidak terlalu berharap pahala?
Kalau begitu saya coba yakinkan dengan argumen lain. Bukan naqliy, tapi aqliy, nalar empirik saja. Begini: Beroraganisasi atau berjamaah itu mutlak penting karena tidak mungkin manusia hidup tanpa kebersamaan dengan orang lain. Ada tiga trilogi kebersamaan: dari, bersama dan untuk orang lain. Pertama manusia tidak mungkin lahir di dunia jika tidak dari sesama jenis manusia. Tidak ada mansuia lahir dari kambing atau monyet.
Kedua, untuk bisa tumbuh menjadi manusia, anda harus bersama manusia lain. Meski terlahir sebagai manusia, tapi jika sehari-hari hidup hanya dengan orang utan, meskipun secara fisik tetap manusia tapi jiwanya orang utan. Manusia itu anak lingkungannya. Hidup sama orang jahat bisa terbawa jahat, sama orang-orang baik bisa terbawa menjadi baik.
Ketiga, puncaknya, kalau anda ingin menjadi manusia mulia dan terpuji, anda musti hidup untuk mansuia lain. Semakin besar amal dan kiprah anda untuk sesama, semakin mulia dan terpujilah anda sebagai manusia. Organsiasi adalah sebaik-baik ruang dimana anda bisa hidup bersama dan berbuat untuk orang lain. Dalam kaitan inilah Mbah Hasyim (KH Hasyim Asy'ari) pernah wanti-wanti kepada orang-orang yang aktif di NU, sebagai anggota dan terutama sebagai pengurus: "Hidup-hidupilah NU jangan mencari hidup dari NU!"
Banyak di kalangan kita yang justru lebih memilih hidup dan bertindak secara sendiri-sendiri, dengan berbagai alasan tentunya.
Benar sekali! Karena sesungguhnya, ruh berorganisasi, meminjam bahasa Nahwu dan Tasawuf, adalah keikhklasan untuk meleburkan ke-aku-an (ananiyah) ke dalam ke-kita-an (nahnuwiyah). Organisasi apa pun tidak akan pernah berjalan sehat, kalau masing-masing komponennya masih mempertahankan ke-aku-annya.
Ambil sebuah misal. Kita menghadapi persoalan bus mogok karena aki tekor, yang jika didorong oleh 10 orang saja secara berjamah, pasti jalan. Sementara kita bukan hanya punya 10 orang, tapi 10 ribu bahkan 10 juta bahkan lebih banyak lagi. Namun mendorongnya sendiri-sendiri. Atau ada yang berjamaah tapi hanya 3 orang. Maka sampai kiamat juga tidak bisa jalan itu bus.
Bandingkan dengan kelompok lain yang warganya hanya pas-pasan 10 orang dan mereka mau berjamah, maka jalanlah mobil itu. Inilah rahasia firman Allah SWT: Begitu banyak kelompok kecil bisa mengalahkan kekuatan kelompok besar karena izin Allah, yakni berjamaah. Rasulullah SAW juga senada: Yadullah fauqal jamaah (Kekuatan Allah SWT yang pasti luar biasa hanya dianugerahkan kepada mereka yang ikhklas berjamaah). Kita pandai mengkhutbahkannya tapi tidak mengamalkannya.
Jadi jika segenap Nahdliyin dengan ikhlas bergabung dalam NU pasti luar biasa kekuatan kita?
Betul, kalau itu terjadi, pastilah NU menjadi berkah luar biasa bagi umat dan bangsa ini. Mari kita buat itung-itungan sederhana saja. Ambil 50 juta Nahdliyin, setiap hari infak dengan uang yang untuk beli sebiji kerupuk pun tidak dapat: Rp 350/ orang, berarti Rp 10.000 perbulan perorang. Maka total perbulan bisa dihimpun dana: Rp. 500.000.000.000 (baca: Rp 500 milyar). Artinya dalam waktu 1 bulan saja NU bisa bangun/ renovasi 500 kantor masing-masing seharga 1 milyar rupiah. Dan setahun NU bisa bangun / renovasi 6000 gedung sekolahan/ balai pengobatan/ pemondokan santri masing-masing seharga 1 milyar.
Kenapa itu tidak pernah terjadi selama ini?
Itu persoalan organisasi dan manajeman, kelemahan terparah kita, yang kita tidak mau menyadarinya selama ini. Dan ini bukan teori kosong. Lihat, organsiasi-organisasi keumatan yang lain, muslim maupun non-muslim yang jumlah umatnya jauh lebih sedikit, mereka telah menggarapnya sejak lama dengan keberhasilan luar biasa. Maka meskipun jumlah umatnya jauh di bawah kita, mereka telah bisa berbuat sangat banyak. Percayalah kita pasti bisa, asal kita serius membenahi organisasi.
Sementara ini memang kita belum bisa mandiri
Biarlah itu menjadi masa lalu. Tanggungjawab kita semua kaum Nahdliyin untuk membebaskan NU dari kebiasaan seperti itu. NU adalah masjid luar biasa agung, tempat jutaan Nahdliyin (seharusnya) beramal saleh secara berjamaah, jangan pernah lagi kita rendahkan. Kewajiban kita segenap Nahdliyin untuk memakmurkannya bagi kejayaan uumat dan bangsa. *** (nu.or.id)
Langganan:
Postingan (Atom)